Rumusan Fikih Perdamaian Muhammadiyah Bisa Digali dari Tiga Perangkat
Jumat (1/2/2019) siang Pusat Tarjih Muhammadiyah telah sukses melaksanakan program perdana Santri Cendekia Forum. Sebelum beranjak ke sajian utama, dalam sambutannya Kepala Pusat Tarjih Niki Alma Febriana Fauzi menjelaskan perihal serba-serbi Santri Cendekia Forum. Menurutnya, program unggulan Pusat Tarjih ini merupakan ruang untuk membahas dan bertukar pendapat membahas sebuah problema. Rencananya Santri Cendekia Forum ini akan dihelat secara rutin setiap hari Sabtu dengan pembicara-pembicara yang mumpuni di bidanganya. Tema-tema yang disajikan juga akan beragam, sehingga program ini sesungguhnya layak untuk dinikmati berbagai kalangan.
Pada kajian Santri Cendekia Forum edisi perdana, Ahmad Rizky M. Umar yang bertindak sebagai pemateri membawakan judul ihwal Fikih Perdamaian. Pembahasan ini sebagai respon terhadap wacana yang sempat viral tentang ide untuk menominasikan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama meraih penghargaan Nobel Perdamaian. Peran Muhammadiyah dan NU yang konsisten memerangi radikalisme agama dan gagasan tentang ‘Islam yang ramah’ yang terus dikampanyekan menjadi argumen utama untuk memasukan kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut dalam nominasi Nobel Perdamaian.
Menurut pria yang sekarang sedang menempuh pendidikan doktoral di University Queensland ini, gagasan terkait masalah ini boleh jadi sangat ambisius bagi beberapa pihak. Namun, gagasan-gagasan ‘perdamaian’ di Muhammadiyah (juga NU) masih terkesan bersifat temporer dan belum melembaga dalam pemikiran keislaman yang bisa dibawa ke kancah internasional. Karena itulah, Ahmad pada kesempatan itu dirinya ingin mencoba memantik wacana dan menggagas beberapa arah menuju rumusan “Fikih perdamaian dunia” dalam perspektif Ilmu Hubungan Internasional—wilayah yang sudah digelutinya satu dekade ini.
Gagasan tentang perdamaian dalam studi Hubungan Internasional sudah sangat berkembang. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus menyebut bahwa selain wabah penyakit, dan kelaparan, perang dipahami umat manusia pada masa silam sebagai takdir. Kengerian yang ditimbulkan ketiganya sulit diterima akal. Harari menjelaskan bahwa manusia telah berhasil melakukan hal yang sebelumnya mustahil diwujudkan namun pada akhirnya mampu mengendalikan kelaparan, wabah, serta perang. Ini mungkin tampak sulit diterima, tetapi kelaparan, wabah, dan perang telah berubah dari kekuatan alam yang tak dapat dipahami dan tak terkendali menjadi tantangan yang bisa dikelola. Dengan demikian, perkembangan ilmu Hubungan Internasional memainkan peranan penting dalam meminimalisir peperangan dan mengelola perdamaian antar negara.
Dalam pemaparannya, Ahmad menyebut bahwa sekurangnya ada tiga pendekatan yang saling berkontestasi dalam kajian perdamaian global. Pendekatan pertama, berasumsi bahwa perdamaian dunia bisa ditempuh melalui ‘perimbangan kekuasaan’ dan, dalam titik tertentu, pengaturan keamanan kolektif oleh negara-negara bangsa. Pendekatan kedua, berasumsi bahwa perdamaian dunia bisa ditempuh melalui kerjasama ekonomi, interaksi antar-manusia yang memungkinkan negara-negara bekerjasama, dan penguatan institusi multilteral. Pendekatan ini juga sering disebut sebagai ‘institusionalisme liberal’. Pendekatan ketiga, berasumsi bahwa perdamaian dunia bisa ditempuh melalui ‘keamanan kolektif’ dan pembangunan norma tentang perdamaian yang bersifat kosmopolitan. Ahmad menjelaskan bahwa ketiga pendekatana ini tidak bertentangan, melainkan saling mengisi satu sama lain.
Akan tetapi menurut Ahmad, konsepsi perdamaian global dalam perspektif “Islam” belum banyak bicara dalam diskursus kontemporer. Yang ada malah munculnya gerakan transnasional, gelombang radikalisasi dan populisme, serta cara berpikir tentang ‘Jihad’ yang salah kaprah. Hal tersebut menurut Ahmad justru menjadikan Islam sebagai tersangka alih-alih pemberi solusi atas konflik dan masalah terorisme yang melanda dunia Islam sekarang ini. Karena itulah, menggagas Fikih Perdamaian harus menjadi agenda utama umat Islam hari ini.
Ahmad menjelaskan bahwa Muhammadiyah memiliki potensi lebih matang dalam menyusun konsepsi Fikih Perdamaian yang sifatnya berkelanjutan. Muhammadiyah tidak lagi memandang fikih sebagai suatu pemahaman hukum yang diambil dari dalil-dalil yang tafsiliyyah, sebab konsekuensinya adalah fikih hanya lahir dari penggalian atas dalil (isntinbath), bukan muncul dari fakta dan realitas yang ada. Itulah alasan mengapa masih banyak umat Islam yang seringkali menyandarkan kehidupan keagamaannya pada halal-haram, dosa-pahala, wajib, sunat, dan segala jenis hukum taklifi lainnya. Ukuran perbuatan dalam kehidupan dan segala sesuatu yang dzahir harus ditakar dengan standar kaidah hukum ini. Praktek ini telah berlangsung kurang lebih sejak 1000 tahun yang lalu lantaran menggali hukum hanya bersandar pada dalil-dalil tafsiliyyah saja. Di Muhammadiyah, terma ‘fikih’ dikembalikan ke sifat aslinya sebagai sebuah ‘pemahaman holistik’. Menurut Ahmad, Majelis Tarjih dan Tajdid yang menjadi rujukan dalam pengembangan pemikiran Islam telah membangun konsepsi yang luas dan terus-menerus diperbarui dalam setiap Munas Tarjih.
Menurut Ahmad, ada tiga perangkat yang bisa digunakan oleh Muhammadiyah untuk membangun fikih perdamaian, yaitu: (1) dengan merujuk pada “Kitab Masalah Lima” untuk melihat bagaimana tinjauan dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan muamalat-duniyawiyat; (2) mereorientasi kaidah-kaidah fikih dengan menempatkannya pada konteks internasional hari ini; (3) mendorong kerangka pemikiran yang berbasis pada “perdamaian” sebagai maqashid syariah kontemporer.
Kitab Masalah Lima merupakan dokumen klasik yang mendasari rumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah menggariskan satu pedoman umum bahwa persoalan yang berhubungan dengan muamalat-duniyawiyat pada dasarnya dibolehkan sampai ada petunjuk dalil yang menyelisihinya. Dengan demikian menurut Ahmad, politik internasional merupakan persoalan muamalat-duniyawiyat sehingga pada esensinya fikih perdamaian membutuhkan ijtihad berkelanjutan, inovasi berkemajuan dan mengikuti perkembangan saintifik paling mutakhir dari para ahli.
Setelah Kitab Masalah Lima, perangkat kedua dalam membangun fikih perdamaian adalah qawaid al-fiqhiyyah sebagai fondasi teoritis. Sebagai derifasi dari fikih atau hukum Islam, kaidah-kaidah fikih merupakan simpul-simpul umum dari beberapa permasalahan hukum Islam yang dapat digunakan dalam mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat termasuk persoalan perdamaian. Menurut Ahmad, ada empat kaidah fikih yang secara umum dapat menjadi landasan teoritis fikih perdamaian, di antaranya: (1) al-Umuru bimaqashidiha (segala perkara tergantung pada niatnya); (2) al-Dhararu yuzalu (kemudharatan itu harus dihilangkan); (3) al-Masyaqqah tajlib al-taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan); (4) al-Adah muhakkamah (adat itu bisa menjadi hukum).
Perangkat ketiga berangkat dari asumsi bahwa perdamaian merupakan maqashid syariah. Menurut Prof. Syamsul Anwar, di dalam khazanah intelektual hukum Islam, “Maqashid al-Syari’ah” merupakan salah satu tema sentral yang banyak didiskusikan. Alasannya adalah karena perspektif Maqashid bertitik tolak dari norma-norma dasar hukum Islam yang merupakan nilai-nilai universal Islam itu sendiri sehingga lebih lentur, tetapi dapat menyapa berbagai masalah kekinian secara arif. Para pengkaji usul fikih pra-modern menetapkan maslahat esensial (dharuriyyah) terletak dalam lima macam perlindungan kepentingan manusia, yaitu (1) perlindungan keberagamaan (religiusitas), (2) perlindungan jiwa, (3) perlindungan akal, (4) perlindungan keturunan, dan (5) perlindungan harta kekayaan. Akan tetapi, penerapan maqashid dalam teori tradisional lebih banyak terfokus pada manusia sebagai individu. Karena itulah dalam pengembangan fikih perdamaian penting sekali melihat empat konteks ini: (1) manusia sebagai individu, (2) manusia sebagai anggota keluarga, (3) manusia sebagai anggota masyarakat, dan (4) dan manusia sebagai makhluk Tuhan bersama makhluk Tuhan lainnya dalam alam.
Pada akhir pembahasan, Ahmad menyampaikan bahwa jika Muhammadiyah serius untuk mendorong perdamaian dunia, dengan atau tanpa hadiah Nobel Perdamaian yang baru-baru ini diwacanakan, sudah saatnya Muhammadiyah serius dengan internasionalisasi dan inovasi pemikiran keagamaan. Salah satunya adalah dengan mempertimbangkan gagasan tentang fikih perdamaian. Saat ini Muhammadiyah sudah banyak mendorong pengembangan pemikiran keagamaan baru di wilayah Muamalat Duniawiyat seperti hubungan sosial antarumat beragama (2000), fikih antikorupsi (2006), fikih air (2015), atau fikih penanggulangan bencana. Saatnya, bisa jadi, dalam rangka menyambut Munas Tarjih, perlu dipertimbangkan adanya fikih perdamaian.
Menurut Ahmad, Muhammadiyah punya modal yang sangat besar untuk melakukannya, dengan anak-anak muda yang progresif dan berwawasan global. Inovasi pemikiran yang cermat akan sangat membantu proses internasonalisasi tersebut, tentu dengan landasan Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad yang membantu manusia dalam mewujudkan semangat Islam yang berkemajuan.
Kontributor: Ilham Ibrahim