Jadal (Dialectic) Akan Merangsang Munculnya Pemikiran Kritis
Penulis: Alda K. Yudha
Sabtu (9-2-2019) bertempat di Aula Islamic Center Masjid UAD Kampus IV, Pusat Tarjih Muhammadiyah kembali melanjutka seri literasi Santri Cendekia Forum edisi ke-2 dengan tajuk “Teori Debat (Jadal) dan Relevansinya Bagi pemikiran Islam Kontemporer” dengan pemateri Muhammad Amin Syifa Widigdo, Ph. D. Dalam forum ini, dibahas tentang tata cara dan retorika debat ala ulama Islam terutama di masa Imam Haramain, al-Juwaini.
Dalam pengantarnya, Syifa menjelaskan bahwa pada dasarnya perdebatan ada semenjak interaksi antar manusia terjadi. Jika ditilik dari sejarah pada zaman Yunani, dahulu sudah terkenal istilah kaum sofis yang berdebat demi mendapatkan ketenaran dan uang. Dalam bangsa Arab, juga terkenal istilah Hija’ yang merupakan syair untuk saling menghina ketika memulai peperangan. Budaya ini, juga terlihat di Indonesia, misalnya dalam hal perang pantun dalam adat Betawi, ketika suatu pernikahan dihelat.
Di masa Khalifah al-Mahdi (Abbasiyah), sang sultan pernah memerintahkan seorang Kristen untuk menerjemahkan teori debat kaum Yunani. Maka tidak mengherankan ketika kemudian ada beberapa ulama Muslim yang sangat tampak bermadzhab Aristotelian dalam hal debat seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Menurut Syifa, dalam literatur Islam sendiri, ketika membahas mengenai bukti yang digunakan dalam jadal (debat), terkenal istilah konsep qat’i dan dzanni. Qat’i yaitu dalil konklusif, di mana dalil ini diklaim sebagai sebuah dalil yang tidak bisa lagi diganggu gugat. Yang termasuk dalam dalil qathi ini ialah: (1) teks al-Qur’an dan hadis yang tidak mengandung penafsiran dan (2) ijma’. Sedangkan dzanni adalah sebaliknya. Permasalahanya adalah, ketika satu ulama mengatakan bahwa suatu dalil sudah qat’i, ulama yang lain belum tentu setuju dengan hal tersebut. Oleh karenya, dalam hal ini dapat memungkinkan terjadinya jadal (debat/dialektika) mengenai status dalil tersebut.
Dari pemaparannya, Syifa menjelaskan bahwa inti dari jadal adalah bahwa semua orang punya klaim, sedangkan bagi penanya atau lawan jadal memiliki hak untuk memberikan bantahan atau disebut i’tiradh. Maka jika, klaim qath’i mau dibantah maka bisa dilakukan dengan dua cara: (1) mu’aradhah dengan menyajikan ayat atau dalil lain yang membahas tema yang sama tapi memberikan penjelasan yang berbeda (2) tarjih, menguji dua dalil mana yang lebih kuat.
Sebelum menyelesaikan presentasinya, Syifa menjelaskan bahwa teori jadal ini memiliki relevansi dengan debat yang terjadi pada masa kekinian, yaitu (1) teori jadal mendorong ijtihad dan pemikiran kritis. Hal ini penting agar bisa membawa Islam ini bisa ikut masuk ke dalam arena persoalan global, di mana tanpa adanya sikap kritis maka banyak persoalan-persoalan yang tidak ada datanya di masa lalu. Salah satu tradisi klasik yang tidak bisa lagi digunakan sekarang adalah cara memberikan jawaban yang hitam putih. Hal itu tidak bisa lagi dipakai di zaman sekarang; (2) menghindarkan dari kecenderungan relativisme dan absolutisme; (3) merangsang tumbuhnya konsensus. Hal ini bisa dilihat secara historis bahwa di masa lalu jumlah mazhab terhitung sangat banyak, tetapi karena saling kritis satu sama lain mazhab-mazhab tersebut bisa dikerucutkan menjadi konsensus-konsensus; (4) meningkatkan kualitas debat.