Kang Aguk Irawan, “Tokoh Muhammadiyah membuat saya mencintai sastra”: Catatan Kegiatan Diseminasi Naskah Moderasi Islam
Penulis: Qaem Aula Syahied
Bagi penikmat sastra nasional. Apalagi dengan kultur dan warna khas pesantren, sulit rasanya untuk tidak mengenal dan mencintai karya-karya Aguk Irawan. Penulis yang baru saja mendapatkan Penghargaan Islamic Book Award oleh Republika ini tidak saja produktif melahirkan karya-karya ilmiah atau terjemahan, tetapi juga lebih dikenal dari karya-karya sastranya. Beberapa dari karya sastra yang telah terbit di antaranya: Dari Lembah Sungai Nil, Hadiah Seribu Menara, Kado Milenium; Negeri Sarang Laba-laba; Binatang Piaraan; Liku Luka Kau Kaku, Suan yang Memerah, Haji Backpaker dan masih banyak lagi. Dua karya sastra Biografinya yang terkenal datang dari tulisannya mengenai dua tokoh muslim Kharismatik dari kalangan NU: “Peci Miring” yang menceritakan tentang K.H. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gusdur dan “Sang Penakluk” Novel Biografi K.H. Hasyim Asy’ari.
Kiprah Kang Aguk di dunia sastra dan literasi keislaman menjadi jaminan pihak penyelenggara Diseminasi Konten Naskah/Buku Moderasi Islam tanggal 21-23 di Yogyakarta kemarin untuk menghadirkan beliau sebagai pemateri. Mengangkat tema “Diseminasi konten Moderasi di Media Sosial” Kang Aguk menjelaskan bagaimana sebenarnya dunia digital di zaman sekarang telah memperlihatkan arah dehumanisasi masyarakat modern. Ia menjelaskan bahwa penyakit dehumanisasi yang sedang diidap oleh masyarakat modern sejatinya telah diramalkan oleh beberapa pihak, misalnya saja Jacques Ellul dan Erich Formm sejak tahun 1964. Arus informasi yang semakin deras tak terbendung. Mesin pasar dan mesin partai dilengkapi dengan proxy war, keempat arus tersebut sejatinya yang menjadi faktor besar tergerusnya sendi-sendi kemanusiaan.
Bagi Doktor UIN Sunan Kalijaga yang juga pernah mengenyam Pendidikan di al-Azhar Kairo ini, dampak dari dehumanisasi terlihat jelas dari realita kehidupan maya dan sosial kita. Bercampurnya istilah-istilah yang sejatinya saling bersilang seperti antara jihad dan terorisme, liberalisme dan radikalisme semakin buram tanpa garis demarkasi yang jelas. Tidak hanya memburamnya konsep-konsep itu, tetapi juga beberapa paham sengaja dibenturkan yang pada hakikatnya tidak perlu dibenturkan jika betul-betul dipahami, seperti istilah islamisme dengan nasionalisme. Perpindahan otoritas penyampai konsep-konsep tersebut juga semakin memperparah hal tersebut. Sebab, kini otoritas tidak lagi dilihat dari banyaknya sumbangsih ilmiah dan produktifitas gagasan dari penguasaan ilmu yang baik, tetapi lebih kepada jumlah followers atau subscriber di akun media sosial. Krisis validitas juga menjangkiti berbagai kalangan. Seorang profesor punya kemungkinan yang sama dengan pihak non-akademisi dalam soal menyebarkan hoax.
Dampak dehumanisasi dengan empat faktor yang telah disebutkan, bagi Kang Aguk sendiri, tanpa terbendung terus terjadi karena pendidikan kita tidak disiapkan untuk menghadapi pergeseran era digital ini. Kang Aguk menyebutkan di antara bentuk ketidaksiapaan itu adalah tidak tersedianya literatur yang berkonten Islam moderat. Selain karena minimnya produk-produk buku yang berisi konten ini, juga dipicu oleh pangsa pasar yang membuat para penerbit “takut” menerbitkan karya-karya yang dimungkinkan tidak akan laku berdasarkan dari minat baca masyarakat zaman modern.
Kenyataaan seperti ini, menurut Kang Aguk memang tidak bisa dihindari tetapi bisa diakali. Salah satunya adalah dengan menyajikan konten Islam moderat tersebut tidak hanya dalam bentuk bahasa ilmiah tetapi dibungkus dengan nuansa sastra. Hal ini pun yang bagi Kang Aguk sendiri, merupakan nilai penting yang telah hilang dari rasa tulisan-tulisan berkonten Islam. Ajaran Islam sendiri lebih dilihat dari ranah praktis semata tanpa menyentuh unsur nilai sastrawi. Padahal tokoh-tokoh Muslim pejuang dahulu, selain memiliki pemahaman Islam yang mendalam juga punya jiwa sastra yang tinggi. Banyak dari gagasan kritis mereka dihadirkan dalam bahasa yang puitis, bahkan bisa dalam bentuk puisi dan cerita. Itu pula yang menjadi alasan Kang Aguk menulis Biografi K.H. Hasyim Asy’ari dan Gus Dur dalam bentuk novel sastra, agar tidak hanya menyentuh kalangan akademisi tetapi juga bisa menyentuh masyarakat pada umumnya.
Menariknya, Kang Aguk yang lebih dikenal sebagai tokoh NU ternyata bisa mencintai sastra karena membaca karya sastra Hamka, salah seorang tokoh Muhammadiyah. pada sesi tanya Jawab, salah seorang peserta kegiatan diseminasi, bertanya kepada Kang Aguk tentang asal mula ia bisa mencintai karya sastra.
“awalnya, dulu pas nyantri saya pernah patah hati. Kondisi patah hati itu luar biasa mendepresikan, hingga hampir-hampir saja loncat dari lantai empat. Namun, saat itu saya mendapati novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka. Karya itu membekas sekali. Mengangkat lagi kondisi saya, bahkan ketika itu saya berani berkata “Kekasih-ku, patahkan hatiku seribu kali lagi”. Harus saya akui, tokoh Muhammadiyah lah yang mengenalkan saya pada sastra”