Nilai-nilai Dasar Fikih Zakat Kontemporer Menurut Prof. Syamsul Anwar
Penulis: Ilham Ibrahim
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih akan menyusun Fikih Zakat Kontemporer yang nantinya akan menjadi panduan bagi pergerakan persyarikatan secara khusus dan umat Islam secara umum. Banyaknya masalah zakat yang muncul dari setiap perubahan dimensi ruang dan waktu, seperti makna kekinian delapan asnaf (golongan yang berhak menerima zakat) sampai teknis perhitungan kontemporer zakat pertanian dan perkebunan, memotivasi Majelis Tarjih untuk menyediakan literatur dan referensi fikih zakat yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Hal ini sangat penting lantaran nantinya tantangan pengelolaan zakat dari aspek fikih bisa menemukan arti dan solusinya.
Akan tetapi terlebih dahulu penting untuk dipahami khalayak bahwa terma ‘fikih’ dalam Muhammadiyah tidak lagi berkutat pada perdebatan yang melelahkan seputar halal-haram atau sunah-bid’ah seperti yang biasa kita saksikan dalam fikih muqarrin (fikih perbandingan). Istilah ‘fikih’ dalam Muhammadiyah dikembalikan ke makna aslinya, yaitu totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang. Jenjang norma tersebut meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Dengan demikian, gagasan Fikih Zakat Kontemporer yang akan disusun Majelis Tarjih pun dibangun dengan mengikuti struktur norma berjenjang tersebut.
Prof. Syamsul Anwar dalam acara Focus Group Discussion yang dihelat Majelis Tarjih bekerjasama dengan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan di Hotel Tjokro Yogyakarta beberapa waktu yang lalu memaparkan aspek nilai-nilai dasar, dan prinsip-prinsip universal dalam zakat kontemporer. Sebelum lebih jauh masuk dalam pembahasan, Prof. Syamsul menerangkan bahwa al-qiyam al-asasyyah atau nilai-nilai dasar tersusun dalam tiga kategori, yaitu: nilai dasar teologis (al-qiyam al-‘aqidah), nilai dasar moral (al-qiyam al-khuluqiyyah), dan nilai dasar yuridis (al-qiyam al-syar’iyyah). Agar pemahaman terkait zakat lebih holistik, ketiga aspek nilai dasar ini harus terpenuhi sebelum masuk ke jenjang yang lebih konkret.
Nilai-nilai Dasar Fikih Zakat Kontemporer
Prof. Syamsul menerangkan bahwa al-qiyam al-‘aqidah atau nilai dasar teologi yang meliputi zakat, yaitu pertama, (1) Tauhid. Nilai tauhid meniscayakan bahwa Allah pemilik sah segala yang ada di langit dan di bumi. Hal tersebut tercermin dalam banyak ayat di dalam al-Quran seperti QS. Al-Baqarah: 284, QS. ‘Ali `Imran: 109 dan 129, dan lain-lain. Kedua, (2) manusia sebagai wakil Allah di dunia (al-istikhlaf). Pada nilai ini Prof. Syamsul menghindari istilah khalifah yang dalam pemaknaan era sekarang menyempit hanya dalam persoalan politik. Agar lebih “aman”, pakar hukum Islam ini menggunakan term al-istikhlaf, dengan pengertian manusia didelegasikan oleh Allah untuk mengurus alam semesta. Jadi al-istikhlaf di sana juga bisa diartikan sebagai wakil Allah untuk mengurusi harta benda. Oleh karena itu konsekeunsinya turun ke prinsip ketiga dan keempat, yaitu (3) manusia pemilik nisbi harta kekayaan, dan (4) pengakuan kepemilikan individual dan harta berfungsi sosial.
Setelah menjelaskan aspek-aspek al-qiyam al-‘aqidah, Prof. Syamsul kemudian menerangkan nilai-nilai selanjutnya, yaitu al-qiyam al-khuluqiyyah atau nilai dasar moral. Nilai dasar moral pada zakat yang pertama adalah (1) keadilan. Beliau menerangkan bahwa lazimnya dalam teori etika, keadilan itu masuk ke dalam ranah moral, bukan yuridis. Hal ini didukung oleh beberapa ayat dalam Qur’an seperti QS. An-Nisa: 58 dan 135, QS. Q.S Al-Maidah: 8 dan 42, QS. Al-An’am: 152, dan QS. Al-A’raf: 29-30 yang mengindikasikan bahwa keadilan itu bersifat etis, bukan yuridis. Lebih jauh Prof. Syamsul juga menjelaskan bahwa teori keadilan dalam syariat yang termuat dalam Tafsir at-Tanwir jilid dua disebut sebagai keadilan distributif-terkoreksi.
Dalam rentang sejarah teori etika, Plato disebut-sebut sebagai filsuf pertama yang mengenalkan teori keadilan distributif, dalam artian seseorang akan mendapat sesuatu sesuai dengan kontribusi dan tanggungjawab. Seorang direktur akan mendapat upah lebih besar dari tukang sapu atau tukang parkir. Dalam teori keadilan yang lain, seperti teori keadilan positif, bermakna bahwa yang adil adalah menurut hukum yang berlaku atau sesuai dengan teks perundang-undanganan. Akan tetapi bagi para filsuf, teks hukum itu sendiri sering tidak adil, sebab sering disusupi oleh kepentingan-kepentingan pemilik modal, dan para penguasa. Sehingga teori keadilan positif sendiri bermasalah. Ada lagi teori keadilan utilitarian, yaitu keadilan yang menguntungkan dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang, namun kelemahannya adalah kaum minoritas, mereka akan disingkirkan.
Setelah menjelaskan panjang lebar mengenai varian teori keadilan, Prof. Syamsul kemudian menghujam kritik pada teori keadilan distributif. Menurutnya, kelemahan dari teori keadilan distributif adalah tidak ada keadilan bagi yang tidak berkontribusi. Artinya siapapun yang tidak memiliki tanggungjawab, tidak mendapatkan apa-apa, bahkan tidak juga mendapatkan “keadilan” yang hakiki, seperti misalnya para difabel atau golongan yang dilemahkan oleh sistem. Menurut Prof. Syamsul, teori keadilan distributif direvisi oleh al-Qur’an, sehingga istilah keadilan dalam Islam yang tepat adalah keadilan distributif-terkoreksi. Lalu apa koreksinya? Dalam QS. Adz-Dzariyat: 19, QS. Al-Baqarah: 267, QS. At-Taubah: 34-35, dan dari beberapa hadis Nabi menerangkan bahwa dalam harta kekayaan yang kita miliki—atau tepatnya yang dititipkan Allah kepada kita— ada hak kaum mustadh’afin sebesar 2,5%.
Nilai dasar moral (al-qiyam al-khuluqiyyah) yang kedua setelah keadilan adalah (2) nilai solidaritas. Dalam QS. Al-Hujurat: 10 menegaskan bahwa orang-orang yang beriman itu bersaudara. Rasulullah Saw juga menggambarkan bahwa umat Islam seperti sebuah bangunan yang wajib saling kuat-menguatkan satu sama lainnya (HR. Bukhari dan Muslim). Menguatkan satu sama lain berarti saling membantu sesama muslim dan membela saudaranya muslim yang tertindas dan terzhalimi. Dengan demikian, nilai solidaritas dalam Fikih Zakat Kontemporer meniscayakan kepekaan terhadap saudara-saudara muslim yang membutuhkan.
Selanjutnya al-qiyam al-syariyyah atau nilai dasar yuridis dalam Fikih Zakat Kontemporer menurut Prof. Syamsul hanya satu, yaitu (1) kemaslahatan. Baginya, nilai ini sudah begitu populer dalam hukum Islam. Bahkan kemaslahatan itu selain nilai dalam syariah, tapi juga tujuan dari syariah (maqashid syariah). Dengan demikian, seorang Muslim yang mengeluarkan zakat dari harta dan penghasilan yang diperolehnya secara halal, selain merupakan manifestasi keimanan kepada Allah SWT yang telah mensyariatkan zakat sebagai pembersih jiwa dan harta (QS At-Taubah: 103), sekaligus mengalirkan manfaat harta untuk kemaslahatan bersama.
Prinsip-prinsip Universal Fikih Zakat Kontemporer
Berdasarkan penjelasan di atas, Fikih Zakat Kontemporer dapat diturunkan sejumlah prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) yang bersumber dari nilai dasar teologis, moral, dan yuridis, di antaranya: pertama, (1) harta tidak boleh terkonsentrasi pada seseorang. Dalam artian harta harus terus mengalir tidak boleh hanya berputar pada poros kelas atas. Menurut Prof. Syamsul, prinsip universal ini merupakan turunan dari nilai solidaritas dan keadilan distributif-terkoreksi yang terdapat dalam nilai-nilai dasar di atas. Bisa juga turunan dari nilai kemaslahatan. Dari prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) ini memiliki konsekuensi untuk tidak boleh ada penumpukan harta kekayaan. Dalam QS.Al-Hasyr: 7, Allah melarang aliran harta hanya beredar di antara segelintir orang kaya saja. Sementara dalam QS. Ali ‘Imran: 180 dan QS. At-Taubah: 34-35 Allah mengancam bagi siapa pun yang menimbun harta dengan ancaman api neraka.
Kedua, (2) pada harta setiap orang terdapat hak orang lain. Prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) kedua ini merupakan turunan dari nilai solidaritas. Ketiga, (3) wajib mengeluarkan sebagian harta berbentuk: zakat dan infak wajib. Menurut Prof. Syamsul selain zakat yang harus dibayarkan, ada juga infak wajib yang harus ditunaikan. Contoh paling konkret untuk seseorang yang terkena infak wajib adalah nasabah lembaga keuangan yang menunda-nunda melunasi utangnya dengan sengaja padahal mampu membayar (agar tidak terkena wajib zakat), maka menurut Prof. Syamsul orang tersebut dihukum dengan sebuah kewajiban yang lain, yaitu infak. Jadi, penundanaannya dalam melunasi utang sehingga diwajibkan membayar infak bukan dipandang sebagai denda, sebab dalam prinsip utang-piutang denda itu tidak boleh.
Selanjutnya prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) dalam Fikih Zakat Kontemporer yang keempat adalah (4) pengeluaran zakat berlandaskan prinsip: Pertama, (a) harta yang dikenai zakat harus harta kekayaan yang berkembang. Menurut Prof. Syamsul, sifat dari harta yang dizakati itu harus berkembang, atau yang bisa tumbuh, bukan harta yang mandeg. Seperti sapi, kelapa, rumah yang dikontrakkan, dan lain-lain. Karena itu, Yusuf Qardlawi mengatakan bahwa salah satu alasan hukum (‘illat) kenapa umat Islam harus bayar zakat karena sifat dasar dari harta itu berkembang. Sehingga kalau harta tersebut tidak berkembang, maka tidak ada kewajiban menunaikan zakat. Kedua, (b) harta yang dikenai zakat adalah kelebihan dari kebutuhan. Hal tersebut terkait dengan zakat profesi.
Prof. Syamsul menceritakan dirinya pernah diundang dalam sebuah acara tentang bagaimana teknis zakat profesi. Lalu beliau menerangkan dari kaidah ‘kelebihan dari kebutuhan’. Dalam zakat profesi, kebutuhan diukur dengan upah minimun kota atau kabupaten. Misalnya, upah minum di jogja sekitar 1,3 juta, nilai ini dapat dijadikan patokan sebagai kadar kebutuhan. Jadi proses perhitungannya, kalau gaji kita satu bulan sekitar 10 juta kemudian dikali 12 (bulan) hasilnya adalah 120 juta. Kebutuhan satu bulan tadi sekitar 1,3 juta, kemudian dikali 10 bulan jadi 13 juta tambah 2,6 juta jadi 15,6 juta. Setelah itu 120 juta dikurangi 15,6 juta, hasilnya itulah yang harus kita zakati. Kalau gaji kita misalnya 3,3 juta dikurangi kebutuhan sesuai upah minimum kota (1,3 juta) berarti tinggal 2 juta. 2 juta dikali 12 hasilnya 24 juta. Jadi belum memenuhi nishab zakat. Karena Nishab zakat dalam Putusan Tarjih itu 85 gram emas murni.
Prinsip pengeluaran zakat yang ketiga adalah (c) aset tetap sebagai dasar operasi kegiatan bisnis tidak dikenai zakat. Contoh pabrik, mesin, bangunan perusahaan, dan lain-lain itu hanya aset tetap. Jadi yang dikenai zakat itu objek perdagangan secara langsung, bukan bendanya. Keempat, (d) aset tetap yang menghasilkan pendapatan, selama tidak dijadikan obyek dagang. Prof. Syamsul memberikan contoh rumah yang dikontrakkan. Rumah sebagai aset tetap itu tidak dikenai zakat, namun yang dizakati (jika telah memenuhi persyaratan wajib zakat) adalah hasil dari sewa.
Itulah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) dan prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) yang nantinya akan menjadi bahan penyusunan Fikih Zakat Kontemporer. Sementara jenjang norma ketiga yaitu ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah), akan dipaparkan dalam waktu yang akan datang. Semoga penyusunan Fikih Zakat Kontemporer yang akan diterbitkan Majelis Tarjih ini dapat menyelesaikan segala problem yang terkait dengan zakat.