Pusat Tarjih Berharap Kehadiran Website IBtimes.id Dapat Meningkatkan Kualitas Literasi Muhammadiyah
Penulis: Ilham Ibrahim
Pusat Tarjih Muhammadiyah memenuhi undangan Pimpinan Redaksi IBtimes.id Azaki Khoirudin dalam acara yang bertajuk Temu Penulis Muda Muhammadiyah dan Launching Platform IBtimes.id yang dilaksanakan pada Rabu, 10 April 2019 bertempat di Hotel Mutiara Malioboro. Secara umum, acara yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut sebagai respon atas keprihatinan rendahnya tingkat literasi Indonesia di banding negara-negara lain di dunia. Hal tersebut terungkap dari paparan Fajar Riza Ul Haq yang mengatakan bahwa tingkat literasi Indonesia menduduki posisi 60 dari 61 negara, satu kursi lebih tinggi dari Botswana.
Berbeda dengan literasi, tingkat penggunaan sosial media seperti facebook dan twitter justru menempati posisi ketiga di bawah India dan Amerika Serikat. Laporan We Are Social mengungkapkan bahwa total populasi Indonesia mencapai 265,4 juta jiwa, sedangkan pengguna internetnya setengah dari populasi, yakni sebesar 132,7 juta. Sementara itu hasil penelitian dari UNESCO menyimpulkan bahwa 4 dari 10 orang Indonesia aktif di media sosial seperti Facebook yang memiliki 3,3 juta pengguna, kemudian WhatsApp dengan jumlah 2,9 juta pengguna. Data tersebut masih dapat bertambah setiap tahunnya.
Fajar menyayangkan kondisi yang paradoks seperti ini, dimana besarnya pengguna internet di Indonesia ternyata tidak berkorelasi positif dengan kualitas penggunaan internet. Jadi, keriuhan di facebook, keributan di twitter, dan dilanjutkan debat kusir di grup Whatsapp ternyata tidak dibarengi dengan modal bacaan yang mendalam. Lantaran literasi rendah, tak memiliki daya kritis terhadap informasi sehingga kabar bohong terus terdistribusi melalui media sosial. Dampaknya, semakin lama hoax semakin menyebar. Dan repotnya pesan-pesan negatif tersebut rupanya justru dimanfaatkan oleh segelintir media massa untuk mengais rejeki khususnya media online. Sehingga anggapan Iqbal Aji Daryono bahwa melawan hoax sama artinya dengan melawan industri tidaklah keliru.
Media online paham betul bagaimana cara mengaduk-aduk perasaan pembaca sehingga seakan punya tanggungjawab moril untuk menyebarkan berita yang dibuat-buat. Dengan judul yang sangat provokatif, agitatif dan propagandis emosi pembaca mudah disentuh. Masyarakat dipaksa untuk menjadi takut dengan berbagai serangan. Pola menanamkan ketakutan itu akan menimbulkan rasa perlawanan. Dari sana akan muncul perasaan bersalah bila tautan berita tidak segera turut disebarkan. Berita hoax itu akhirnya viral, dan diamini sebagai sebuah fakta. Tersebar cepat secara massal.
Siapa pun yang dapat menguasai emosi masyarakat tentu tidak akan sulit menjadi pemenang kursi panas kekuasaan. Dengan menyebarkan isu-isu yang mudah dicerna, simplistik, dan bombastik, muatan sensasi akan lebih mudah diterima ketimbang substansi. Karenanya, anggapan sebagian orang bahwa kehadiran era digital akan membawa masyarakat Indonesia lebih inklusif bagi Fajar ternyata salah dan keliru. Kehadiran sosial media di tengah masyarakat justru membuat orang semakin terpolarisasi. Manusia semakin terkotak-kotak berdasar pilihan perasaan, bukan melalui data-data akurat dan fakta objektif. Pada akhirnya era digital melahirkan sejenis manusia yang di dalam kepalanya dipenuhi dengan kecemasan, kekhawatiran, dan kecurigaan.
Hal tersebut secara paradoks berbeda dengan masyarakat yang tidak memakai internet. Dalam kacamata Fajar, mereka justru cenderung tidak mudah termakan opini radikal dan informasi menyesatkan. Terlebih hidup mereka jauh lebih tenang bahkan mungkin lebih fokus pada hal-hal produktif. Dunia sepertinya lebih indah bila kita tidak punya banyak informasi seputar dunia dan seisinya. Namun tentu solusi dari ini semua bukan dengan meninggalkan seluruh perangkat informasi dari dunia digital. Ada banyak jalan untuk menghindari berita palsu, ada banyak jalan informasi sesat tidak tersebar.
Dari penjelasan di atas menjadi terang bahwa hoax diciptakan segelintir orang pintar yang jahat, dan disebar oleh orang bodoh yang baik. Sebagai delegasi Pusat Tarjih Muhammadiyah, penulis berharap kehadiran website IBtimes.id setidaknya dapat memukul mundur penyebaran hoax dan menggenjot spirit literasi di kalangan Muhammadiyah secara khusus dan Indonesia secara umum. Memperlihatkan ketajaman analisis dan kekayaan data sehingga tafsir akan kebenaran dapat tertuju tepat atau setidaknya tidak terlalu melenceng. Dengan meningkatkan kualitas literasi, kualitas hoax dapat dibungkam.