Tumbuhkan Semangat Literasi, Pusat Tarjih Undang Rumah Baca Komunitas dan Read and Eat Society
Penemuan tulisan seolah menjadi penanda zaman yang memisahkan masa prasejarah dengan sejarah. Tonggak peristiwa besar dalam sejarah manusia banyak dipengaruhi oleh tulisan. Dalam perjalanannya manusia terus aktif berkontribusi meningkatkan kualitas membaca, menulis, dan berdiskusi secara produktif. Khalayak menyebutnya sebagai kegiatan literasi. Setelah kegiatan literasi tersebut dilakukan secara konsisten, manusia semakin berkembang pesat dari yang awalnya sekadar mahir membelah batu sampai mengurai atom-atom uranium.
Begitu pentingnya kegiatan literasi tersebut untuk pemenuhan kebutuhan peradaban manusia, pada Ahad 20 Januari 2018 Pusat Tarjih Muhammadiyah mengundang dua komunitas yang bergerak aktif di ranah literasi, yaitu Rumah Baca Komunitas (RBK) dan Read and Eat Society (RES). Pertemuan yang bertajuk “Menumbuhkan Semangat Literasi Menuju Umat Berkemajuan” itu dilaksanakan sebagai upaya Pusat Tarjih untuk mendukung gerakan literasi agar mewabah sampai masyarakat yang lebih luas.
Dalam pertemuan itu, perwakilan Rumah Baca Komunitas Fauzan Anwar Sandiah menjelaskan bahwa tradisi literasi diawali dari pembacaan syair dan puisi, ada juga yang datang dari pentas para pendongeng yang berdiri di tengah-tengah masyarakat. Koleksi puisi, koleksi cerita dan kisah-kisah epik memberikan sebuah bayangan panjang di sejarah literasi selanjutnya. Alexander Yang Agung mengaku sering belajar membaca dan menulis dengan mempelajari teks karya Homerus saat masih muda, dan berkat mentornya, sang filsuf Aristoteles, dia melakukannya dengan intensitas yang tidak biasa. Karena itulah, kisah Alexander yang menaklukan hampir seluruh daratan Persia merupakan bukti bahwa cerita-cerita dapat memiliki dampak yang signifikan di luar lembar-lembar halaman buku tersebut.
Fauzan juga memaparkan korelasi positif antara literasi dengan keagamaan. Menurutnya, tradisi literasi amat sangat berperan krusial, karena mampu mendokumentasikan wahyu dalam bentuk teks tertulis dan dimungkinkan untuk terus dikaji oleh generasi Islam pada masa selanjutnya. Dalam sejarahnya, al-Qur’an yang semula bahasa lisan kemudian dibakukan dalam bentuk tulis. Pembakuan tersebut dimulai sejak mayoritas umat Muslim sepakat bahwa ujaran-ujaran yang dikumpulkan dalam pembakuan resmi di zaman Khalifah Utsman merupakan totalitas wahyu. Akibat pembakuan ini—mengutip istilah Arkoun— mengantarkan al-Qur’an yang semula berupa tradisi lisan menjadi sebagai “korpus resmi tertutup”.
Setelah Fauzan menjelaskan panjang segala hal tentang dinamika literasi, beliau kemudian menyampaikan terkait dimensi komunitas literasi. Menurutnya, ada tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan suatu komunitas yang bergerak di wilayah literasi, yaitu: pertama, volunteer/relawan. Pergerakan komunitas akan stabil kalau memiliki jumlah relawan yang konsisten dan militan sehingga walau kuantitasnya minimum, namun kualitasnya maksimum. Kedua, budget. Menurut Fauzan, meski pun Rumah Baca Komunitas tidak memiliki dana yang mewah, namun cukup untuk menggerakan dan menghidupi komunitasnya sampai sekarang. Kunci kesuksuksesannya bukan terletak pada seberapa besar budget, melainkan daya kreativitas. Ketiga, pengelolaan yang bebas dan mandiri.
Selain Fauzan, perwakilan dari Read and Society Novie Najmi juga memberikan informasi terkait gerakannya kepada Pusat Tarjih. Menurutnya, pendirian RES berawal dari panitia acara Peduli Sahabat. Sejak awal perkumpulan anak-anak muda yang berdomisili di Yogyakarta ini memang tidak punya niatan untuk menjadi komunitas literasi, apalagi menjadi agen pembaharu yang mengubah dunia. Mereka hanya alumni sebuah acara yang kebetulan dikumpulkan oleh seseorang yang bernama Kusuma Wijaya Paputungan. Setelah acara tersebut selesai, jejak diskusi di grup Whatsapp tetap aktif, akhirnya mereka memutuskan untuk membuat payung komunitas.
Sebelum resmi memilih nama Read and Eat Society, nama-nama seperti Peduli Sahabat, Sahabat Peduli Sahabat, Read or Die, Read or Diet, dan lain-lain sempat disandang, namun karena pasal tertentu mereka mantap dengan nama yang paling mutakhir. Novie menambahkan bahwa pemilihan nama “Eat” hanya ingin menunjukan subkultur manusia pribumi Nusantara yang suka kumpul-kumpul dan makan-makan, sehingga bagi mereka selesai pemenuhan kebutuhan jasmani harus juga diisi dengan kebutuhan rohani yaitu “Read” atau membaca. Karena itulah, RES memiliki semacam dogma yang diyakini para pengikutnya bahwa membaca harus semenyenangkan memakan.
Pentolan Read and Eat Society lainnya Akhmad Arwyn yang juga hadir pada acara tersebut menambahkan bahwa RES terbuka dengan segala jenis buku dan topik untuk dibedah. Dari buku paling kanan sampai paling kiri sekali pun pernah mereka bahas. Alasan mereka berani membuka buku-buku yang tabu dibaca masyarakat luas lantaran pegangan pada Islamic Worldview telah mantap sehingga buku apa pun siap dilahap, bahkan kadang dikritisi.
Acara yang diselenggarakan Pusat Tarjih dihadiri pula oleh anggota Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Ketua Syarikat Taman Pustaka Muhammadiyah, David Efendi. Dalam pemaparannya ihwal literasi, David menyampaikan bahwa perluasan makna “literasi” dari yang awalnya sekadar melek baca menjadi kemampuan berinteraksi, berkomunikasi, dan beraktualisasi yang dinyatakan secara lisan dan tertulis merupakan suatu kemajuan. Selain itu David juga berpesan agar anak-anak Muhammadiyah mendukung gerakan literasi sebab baginya kegiatan tersebut bisa jadi faktor dominan yang akan menyelamatkan dan mengembangkan banyak gagasan pada gerak zaman yang terus berubah.
Pada akhir acara Kepala Pusat Tarjih Niki Alma Febriana Fauzi mendukung penuh kegiatan literasi dengan memfasilitasi tempat bagi Read and Eat Society dan Rumah Baca Komunitas yang hendak digunakan untuk membedah buku. Niki Alma juga menegaskan bahwa salah satu agenda Pusat Tarjih dari divisi kajian adalah menyokong kegiatan literasi yang tidak hanya demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya tetapi juga masyarakat yang berkemajuan. Karena itulah dengan membaca, pikiran kita tidak akan sempit, sebab bersama buku kita seperti duduk di simposium tempat para Nabi, filsuf, dan para pemikir agung berteori tentang hakikat hidup dan semesta.
Kontributor: Ilham Ibrahim