Iqbal Aji Daryono Paparkan Strategi Menyapa Digital Native
Penulis: Ayub
Berawal dari kesadaran bahwa wacana keagamaan perlu kemasan yang tepat untuk menyapa pemirsa digital, Santri Cendekia Forum 23 Maret 2019 lalu mengundang Iqbal Aji Daryono. Beliau terkenal sebagai mantan supir truk di Australia yang kini fokus menjadi influencer; ‘peternak’ opini di dunia digital. Meski tak pernah menunjukkan latar belakang pendidikan formalnya, Mas Iqbal tidak diragukan lagi adalah salah satu ‘peternak’ opini paling sukses di tanah air. Iqbal menegaskan bahwa itulah salah satu ciri era digital; hirarki otoritas karena jenjang pendidikan formal menjadi tak berarti lagi. Tapi sepertinya dari fenomena tersebut lahir hirarki baru, yakni hirarki berdasarkan followers. Karena memiliki followers yang cukup melimpah dan terlahir dengan keahlian menciptakan opini, mengundang beliau untuk mendiskusikan metode mengemas agama di dunia digital adalah langkah yang tepat. Terlebih Mas Iqbal selalu bangga memperkenalkan dirinya sebagai Muhammadiyah kultural. Di sininilah niat mulia Mas Iqbal untuk mengkader buzzer-buzzer Muhammadiyah Cyber Army dan upaya Pusat Tarjih Muhammadiyah mengundang narasumber yang kompeten dalam mengemas opini di dunia digital tampaknya berjodoh.
Tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya yang lebih teoritik, forum kali ini memang bertujuan untuk menyerap ilmu-ilmu praktis dari Iqbal. Namun demikian penjelasan beliau bukannya tidak didasarkan atas konsepsi tertentu. Ia memulai dengan penegasan bahwa dunia digital sama sekali bukan dunia yang maya. Dunia digital selalu punya efek nyata dan signifikan di kehidupan kita. Dari “koin untuk Prita” hingga aksi 212, isu yang digodok di internet terbukti bisa mewujud gerakan massa yang efektif. Inilah salah satu mindset yang perlu dicamkan jika memang ingin go digital, bila hendak menyapa digital native.
Digital native adalah warga pribumi dunia digital. Mereka yang lahir dan tumbuh diasuh oleh segala yang digital. Pemikiran dan mental mereka selain dibentuk oleh orang tua dan guru, juga oleh meme, video Youtube, dan seleb-seleb medsos. Mas Iqbal menyatakan bahwa jika ingin mengemas agama bagi kaum pribumi alam digital ini, maka kita peru mengenali karakteristik mereka. Kaum pribumi dunia digital itu punya karakteristik santai, tidak suka dikekang, dan tak ramah pada hirarki otoritas. Menyapa mereka harus dibuat santai, informal dan setara. Itulah sebabnya bahkan akun resmi pemerintah pun dituntut untuk tampil sebagai person. Makanya muncul para mimin yang membangun branding institusi mereka masing-masing.
Kaum pribumi dunia digital serta netizen pada umumnya juga bukan lagi konsumen wacana saja. Mereka bisa disebut sebagai prosumer; berperan ganda sebagai produsen dan konsumen. Interaktif dan ekspresif adalah ciru utamanya. Kolom komentar setiap postingan yang viral adalah contoh nyatanya. Maka para penyampai wacana keagamaan memang harus siap dan cepat tanggap. Digital native cenderung menganggap penting opini mereka. Meski mungkin diiringi proklamasi, “ah saya hanya remah rempeyek”. Menghargai opini mereka adalah langkah penting untuk menarik para netizen. Implikasi lainnya adalah wacana keagamaan harus dibuat relatable ke diri netizen. Sesuatu yang mewakili sentimen banyak orang akan cepat viral.
Karakter digital native yang lain adalah kolaboratif. Mereka senang ikut terlibat di dalam sesuatu yang besar, apalagi jika bertujuan mulia. Popularitas situs-situs patungan seperti Kitabisa atau GoFundMe adalah buktinya. Ajaran-ajaran normatif agama yang memang mengajak untuk bersama-sama berbuat baik demi kemanusiaan tampaknya bisa dimaksimalkan di sini. Namun demikian, kompetisi mesti dihindarkan. Olehnya, meski berangkat dari nilai-nilai agama, sebuah wacana normatif tidak selalu harus mengikut sertakan dalil-dalilnya dengan eksplisit.
Iqbal menyatakan bahwa medsos adalah habitat utama kaum pribumi dunia digital. Terutama untuk konteks Indonesia; meski berliterasi sangat rendah, negara kita menduduki peringkat atas dunia pengguna aktif media sosial. Oleh karenanya, perlu pula mengenal karakteristik medsos. Jika mengingat ciri digital native tadi, maka bersikap personal dan informal sangat penting di medsos. Selain itu informasi sebaiknya dibuat ringkas dan memperhatikan unsur visual. Mengemas info menjadi sebuah cerita yang menggugah juga penting. Unsur story kadang lebih penting dari data-data statistik. Kisah seorang pengungsi yang dibuat detail, misalnya, lebih cepat viral dibanding jumlah-jumlah statistik total korban.
Ciri penting medsos yang lain adalah adanya filter bubble. Orang-orang terkurung di dalam kelompok virtual yang sangat eksklusif sehingga opini berlawanan sama sekali tidak ditemukan. Ini juga pengaruh dari algoritma situs-situs media sosial. Wacana keagamaan perlu memecah bubble ini, sebab radikalisasi baik yang ekstrim beragama maupun anti-agama bermula dari fenomena ini. Maka isu-isu yang diangkat dibuat beragam, sebab agama memang memiliki banyak dimensi. Mulai dari isu lingkungan, hobi, fashion, hingga info cegatan, semua kemungkinan ini perlu dijajal agar bisa menjangkau sebanyak mungkin netizen.
Pada level yang lebih spesifik dan praktis, Iqbal menyampaikan bahwa media untuk mengemas isu di internet bisa lewa teks, gambar, video atau quote/meme. Menrutunya, jumlah maksimal teks tidak boleh lebih dari 700 kata (Tulisan yang anda baca ini haqqul yaqin melanggar kaidah suhu Iqbal itu). Gambar harus eye catching dan memperhatikan lingkungan media sosial. Ketika memberikan contoh, Iqbal mengkritik keras poster Santri Cendekia Forum yang latarnya putih. Menurutnya, poster semacam itu akan terlihat kurang elok di Facebook yang latarnya putih. Video yang ideal baiknya memakai setidaknya dua angle kamera dengan durasi 15 menit. Video dari Youtuber nomor wahid Indonesia Atta Halilintar mengikuti kaidah ini (Mungkin konsultannya Kang Iqbal juga). Terakhir, meme dan qoute akan efektif jika “mencatut” seorang tokoh yang banyak pengikutnya sebagai spoke person.
Kang Iqbal Aji Daryono memaparkan setidaknya tiga peluang dan tantangan diseminasi isu keagamaan di dunia digital. Pertama, harus memanfaatkan atau menciptakan momentum agar bisa aktual. Caranya dengan menjadi anti-mainstream atau membuat sebuah sensasi. Memakai bahasa-bahasa sensasional dan bombastis. Tantangannya jelas, wacana keagamaan sungguh tak elok jika dikemas dengan gaya bahasa bombastis yang lebay. Namun kericuhan dunia maya tetap bisa “ditunggangi” dakwah. Salah satu caranya adalah dengan menawarkan style penyajian dan perspektif sebagai penengah yang mendudukan persoalan. Menurut Iqbal, netizen menyukai tulisan yang berusaha mendudukan sebuah persoalan heboh dengan tenang, santai, tapi cerdas.
Khusus untuk Muhammadiyah, tantangannya ada pada konten yang disajikan. Apakah hanya ada fikih? Sebab menurut Iqbal, menyajikan konten tentang akhlak lebih banyak diminati. Tapi sebenarnya, fikih-fikih baru Muhammadiyah tidak hanya berisi hukum-hukum saja. Topiknya juga relevan dengan masalah-masalah aktual, misalnya Fikih Air atau Fikih Perlindungan Anak. Namun tantangan terbesar Muhammadiyah sebenarnya, menurut Iqbal, adalah belum adanya spoke person yang bisa dijadikan ujung tombak menyapa digital native. Hal ini tampaknya berkaitan dengan kultur egaliter dan non-kultus yang memang meletakan otoritas dan kharisma di nama organisasi, bukan perorangan. Tapi Iqbal yakin bahwa beberapa tokoh Muhammadiyah potensial untuk itu. Tak lupa pula di akhri sesi, Kang Iqbal memaparkan satu strategi jitu sebagai “formasi perang” isu di dunia maya yang kiranya efektif.
Itulah sebagian dari paparan Iqbal Adji Daryono. Semoga bisa diamalkan dengan sebaik-baiknya.