Begini Penjelasan Pakar Arsitektur Islam tentang Model Kota Lintas Iman
Penulis: Alda K Yudha
Untuk kesekian kalinya, Pusat Tarjih Muhammadiyah UAD melalui Santri Cendekia Forum pada tanggal 2-3-2019 mengadakan kajian ilmiah dengan tema Kota Lintas Iman; Prespektif Arsitektur Islam. Dalam diskusi kali ini, Andika Saputra secara umum menjelaskan mengenai bagaimana sebuah kota dapat menjadi kota yang plural dengan tetap mengakomodir kebutuhan setiap komunitas ras, etnik, dan agama yang menjadi bagian dari warga kota.
Pada awal penyampaian, Andika menjelaskan karakter kota modern, dimana setiap kota modern memiliki ciri-ciri: (1) Plural, yaitu suatu kota memiliki warga kota dengan latarbelakang ras, etnis, atau agama yang beragam yang berpengaruh terhadap bentukan tata ruang kota; (2) Rasional, yaitu pembanguan, pembinaan dan kehidupan kota menekankan pada rasionalitas karena melibatkan teknologi, dan untuk kepentingan melakukan kontrol terhadap warga kota yang plural; dan (3) kegiatan ekonomi merupakan orientasi kehidupan kota modern yang berkedudukan sebagai “tulang punggung” suatu kota yang tercermin dari ruang ekonomi sebagai pusat kota. Ciri ketiga ini menjadikan kota modern memiliki daya tarik yang kuat bagi masyarakat desa untuk berpindah ke kota ‘mengadu nasib’ dalam rangka memperbaiki kondisi kehidupan ekonominya.
Dari ketiga ciri-ciri kota modern tersebut, muncullah masalah kehidupan kota modern meliputi (1) individualisme, dikarenakan kehidupan kota modern dengan orientasi ekonomi mendorong warga kota untuk mementingkan kebutuhan dan kepentingan ekonominya di tengah tingnkat demografi kota yang tinggi dan keterbatasan ruang ekonomi; (2) materialisme yang merupakan asas kota modern dengan pandangan bahwasanya manusia ialah tubuh tanpa jiwa yang menjadikan kota modern kosong dari nilai dan nafas spiritualitas; dan (3) rasio instrumental dengan orientasi berfikir terhadap pertanyaan “bagaimana” yang membawa manusia mencapai tingkat teknologi tinggi pada zaman kini dengan bentukan kota yang terus semakin modern, tetapi di sisi lain menumpulkan kemampuan manusia untuk berfikir reflektif dan filosofis terkait pertanyaan “mengapa” untuk menemukan makna kehidupan sehari-hari yang dijalaninya. Dapat disimpulkan, tiga masalah kehidupan kota modern merupakan masalah keadilan bagi warga kota sebagai individu maupun sebagai komunitas.
Tiga masalah kehidupan kota dapat ditemui ditingkat individu maupun komunitas. Ditingkat individu menyebabkan reduksi manusia, alienasi manusia dari hakikat diri, lingkungan sosial, budaya, dan alam, serta menyebabkan manusia semakin rentan sakit dikarenakan lingkungan kota modern yang tidak ramah bagi kesehatan manusia. Sementara ditingkat komunitas menyebabkan penguasaan ruang-ruang kota oleh segelintir pemodal untuk mencapai keuntungan materi bagi pribadi dan komunitasnya, serta terjadinya segregasi sosial berdasarkan kelas ekonomi, identitas ras, etnik, maupun agama. Poin terakhir inilah yang digunakan oleh Andika sebagai pintu masuk untuk memasuki pembahasan Kota Lintas Iman dengan tujuan meniadakan terjadinya segregasi antar umat beragama secara sosiologis dan kultural dalam kehidupan kota modern.
Memasuki pembahasan Kota Lintas Iman, Andika secara sekilas menampilkan hasil penelitian Setara Institut mengenai Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2017 dan 2018, dan penelitian Ma’arif Institute tentang Indeks Kota Islami (IKI) pada tahun 2016. Andika menyoroti, kelemahan dari penelitian tersebut ialah variabel yang terbatas untuk memotret kehidupan kota yang kompleks dikarenakan memiliki ruang lingkup yang luas, yakni berkisar pada unsur kemasyarakatan dan unsur pemerintahan kota, tanpa mengkaji unsur ruang kota sebagai lingkungan binaan. Dengan latarbelakang keilmuan arsitektur yang digelutinya, Andika menjadikan unsur ruang binaan untuk membahas Kota Lintas Iman dengan variabel meliputi (1) tata ruang kota; dan (2) identitas ruang kota.

Model Kota Semi-Enclave
Berangkat dari Surah An-Nahl: 90 yang memerintahkan umat Islam berbuat adil dan kebajikan, Andika menawarkan model tata ruang semi-enclave untuk tercapainya kota lintas iman. Dari aspek tata ruangnya, kota lintas iman menjamin setiap unsur warga kota dengan latarbelakang agama beragam memiliki ruang kehidupan yang layak dari segi kuantitas dan kualitas untuk memenuhi kebutuhan ruangnya masing-masing dalam bentuk enclave. Model enclave yang diperuntukkan untuk satu komunitas agama menjamin setiap umat beragama mengamalkan agamanya masing-masing dengan memberikan tingkat privasi yang cukup. Namun begitu, untuk membentuk soliditas sosial warga kota, antar enclave yang berorientasi ke dalam, dihubungkan dengan ruang-ruang bersama untuk mewadahi kegiatan komunal warga kota, seperti kegiatan olahraga, perdagangan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya, sehingga setiap enclave tidak bersifat eksklusif dan tertutup, tetapi diikat dengan ruang-ruang bersama yang menyatukan antar enclave.
Dari aspek identitas ruang, kota lintas iman menampakkan identitas khas unsur warga kota di masing-masing enclave yang dihuninya, yang berarti seluruh unsur warga kota diberi kebebasan untuk menunjukkan identitas dirinya sebagai individu maupun komunitas di ruang enclave-nya. Selain memenuhi hak warga kota, penyematan identitas masing-masing komunitas warga kota area enclave hunian memudahkan dalam mengidentifikasi ruang kota. Agar tidak terjadi segregasi akibat perbedaan identitas, seluruh unsur warga kota memiliki budaya bersama sebagai pengikat secara kultural yang ditampakkan di ruang-ruang bersama. Terutama pusat ruang kota yang merupakan jantung sekaligus wajah kota yang membentuk identitas kota, identitas yang ditampakkan haruslah memiliki akar kesejarahan kota tersebut dan merupakan identitas bersama yang dapat menyatukan seluruh unsur warga kota.
Pada bagian akhir materi yang disampaikannya, Andika menegaskan, model kota lintas iman yang dibicarakannya idealnya berukuran tidak terlalu luas, karena kota modern yang sangat luas menghambat seluruh unsur warga kota untuk melangsungkan kegiatan bersama sebagai upaya menguatkan soliditas sosial, selain kota yang terlalu luas mengharuskan warga kota melakukan mobilisasi spasial yang tinggi setiap hari yang menyebabkan rentannya kesehatan warga kota dan tingginya biaya ekonomi yang harus dikeluarkan. Sebagai penutup, Andika menyimpulkan empat ciri khas kota lintas iman, yaitu (1) terpenuhinya kebutuhan mendasari dalam aspek spasial seluruh warga kota; (2) kesatuan warga kota yang terdiri dari beragam latarbelakang agama dijalin dengan rasa kepedulian terhadap ruang kehidupan dan budaya bersama; (3) hubungan sosial seluruh warga kota dijalin secara produktif dan konstruktif melalui kegiatan di ruang-ruang bersama; dan (4) pembangunan dan pembinaan kota sebagai ruang kehidupan bersama dilakukan secara partisipatoris positif, yakni pelibatan seluruh unsur warga kota secara aktif.
Pentashih: Andika Saputra