Belajar Mencintai “Warisan Lama” Dalam Bilik Baitul Hikmah
Selepas “menyantap” materi bergizi pada santri cendekia forum edisi ke-2, beberapa personil Divisi Kajian Pusat Tarjih Muhammadiyah – Alma, Ilham dan saya sendiri, Qaem- menyambangi salah satu pegiat literasi yang gemar mengoleksi arsip-arsip lama. Mas Dalton, begitu kami memanggil beliau.
Sabtu sore tertanggal 9 Februari 2019 itu, berangkatlah kami menempuh jarak 16 kilometer – mengacu pada google maps, menuju kediaman Mas Dalton yang terletak di Jl. Pasar Pundong no. 1 RT 07, Bodowaluh, Srihardono, Kec. Pundong, Kab. Bantul.
Meski perjalanan tersebut cukup jauh, setidaknya memakan waktu tiga puluh menit, tapi lelah perjalanan kami terganti dengan pemandangan indah nan asri yang bisa dinikmati. Hamparan sawah memanjang di kanan-kiri. Angin sore berhembus sejuk. Lelah kami betul-betul tergantikan. Semoga itu tanda bahwa lelah kami untuk lillah (karena Allah). Karenanya Allah sediakan ni’mah (karunia).
Belum habis menikmati perjalanan itu, sampailah kami di tempat tujuan. Menunggu sebentar di atas motor sembari menghubungi Mas Dalton. Tak berselang lama, kami yang menunggu di pinggir jalan aspal melihat dari jarak yang tidak terlalu jauh seorang lelaki muda besar, jenggotan, bersarung dan kaos oblong melambai. Itu Mas Dalton. Kami pun segera menemuinya.
Disambut dengan senyum ramah, kami dipersilahkan masuk di kediaman yang bagus dan rapi. Saya lalu memperkenalkan diri dan memperkenalkan Alma selaku kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah. Ilham tak perlu diperkenalkan, karena keduanya sudah kenal sejak lama. Mereka sering bertemu dalam forum bincang buku komunitas RES (Read and Eat Society). Perkenalan yang singkat saja. Intinya bahwa kami ke sini, selain untuk silaturahmi tentunya, tetapi juga punya misi penting di bawah payung salah satu visi besar pusat tarjih; “pengadaan karya-karya lama bermutu baik yang berkaitan langsung dengan Muhammadiyah maupun karya yang tidak berkaitan langsung namun ditulis oleh tokoh Muhammadiyah”.
Itu penting, karena kata ketua pusat tarjih –Alma- dalam satu status whatsapp-nya:
“Dalam sejarahnya, perpustakaan selalu menjadi denyut nadi intelektualisme. Ia menjadi dapur peradaban suatu bangsa; pendobrak kejumudan. Pusat Tarjih Muhammadiyah, karena itu, berkomitmen tinggi untuk mengembangkan perpustakaan. Insya Allah dalam waktu yang tidak lama lagi, perpus Tarjih akan melakukan pengadaan buku-buku lawas berkaulitas dan hasil penelitian para cendekiawan dalam bentuk tesis/disertasi”
Dan semangat itulah yang sampai mengantarkan kami ke perpustakaan pribadi Mas Dalton. “perpusnya diberi nama gak mas”?, tanya saya ke Mas Datlon. “Namanya Baitul Hikmah”, jawabnya.
Perpus itu berada di salah satu ruangan dari ruangan-ruangan yang ada dalam kediaman Mas Dalton. Ukurannya tidak terlalu besar. Satu ruangan itu, dibagi dua. Dipisah dengan dua lemari. Lampunya agak remang. Kata Mas Dalton, satu lampu sudah tidak bisa menyala. Tapi gegara lampu remang itu, suasana perpus sederhana ini menjadi lebih syahdu.
Setelah memeriksa beberapa rak buku, tahu lah kami bahwa memang perpus ini sangat berhikmah. Banyak sekali tulisan-tulisan lama yang dikarang oleh tokoh-tokoh lama namun namanya masih harum hingga sekarang. Jangan ditanyakan lagi, karangan Hamka hampir semuanya ada di sana. Begitu juga dengan Mohammad Natsir, A. Hassan, Isa Anshary –tokoh Masyumi itu-, Djarnawi Hadikusumo, Mas Mansur, Sutan Mansur, Djindar Tamimy, Ki Bagus Hadikusumo dan sederet tokoh-tokoh lawas yang saya yakin jarang dikenal oleh anak muda zaman milenial sekarang, kecuali mereka, yang mengasingkan diri untuk mencintai karya-karya lama. Salah satu anak muda itu adalah mas Dalton. Buktinya perpustakaan baitul hikmah ini. “Kami tidak salah ke sini”.
Sembari mencatat buku-buku yang bisa langsung dibeli dan buku yang hanya boleh dicopy – karena tidak dijual, semakin kagumlah kami kepada sosok yang bernama Mas Dalton ini. Di sela-sela kesibukan yang mengasyikkan itu, saya tanya kepada beliau, apa orientasinya mengumpulkan buku-buku lawas seperti ini, yang tentu tidak mudah mencarinya. Apa karena hobi? Seperti orang yang suka mengumpulkan perangko? Atau uang-uang lama? Atau karena apa?
Calon dokter gigi itu pun menjawab, kecintaan kepada karya lawas seperti yang ia kumpulkan di ruang “Baitul Hikmah” berawal dari kekagumannya terhadap cerita-cerita ayahnya. Bercerita tentang sosok tokoh, pemikir dan pejuang di masa lalu. Mulailah di situ, ia mengumpulkan sebisa mungkin karya-karya dari cerita tersebut. Dan hingga kini satu karya mengantarkan kepada karya yang lain.
Pencarian akan karya tempo doeloe yang diusahakan oleh Mas Dalton memang tidak main-main. Demi mendapatkan karya-karya lawas tersebut, beliau rela mengunjungi berbagai tempat dan pasar yang membuka stand buku lawas. Jika biasanya mahasiswa Yogya hanya mengenal shopping sebagai pusat kulakan buku lawas, Mas Dalton sudah pernah ke Pasar Beringharjo, Sentir, dan pasar Niten untuk mencari buku-buku lawas tersebut. Ada yang bahkan hanya buka sore sampai malam saja.
Semakin lama kami mendengar cerita Mas Dalton, semakin kecil rasanya diri kami yang mendaku diri sebagai penyuka buku. Belum ada apa-apanya lah dibanding Mas Dalton. Lihat saja, di perpus Baitul Hikmahnya, pemuda tersebut punya salah satu tafsir yang kelangkaannya sudah taraf internasional, yaitu Tafsir Zainal Abidin Abbas. Tafsir ini ditulis pada masa pergolakan dan belum terselesaikan. Kata Mas Dalton seandainya tafsir ini khatam, ketenaran Tafsir al-Azhar bisa jadi akan terkalahkan. Selain kitab tafsir tersebut, masih ada sederet arsip-arsip lama lainnya, yang membuat hati semakin kecil.
Sebelum kami menyudahi kunjungan yang bermanfaat sore itu, kami menyempatkan berfoto dulu dengan Mas Dalton. Mengabadikan momen indah itu, biar kelak, meskipun tidak punya karya-karya lama seperti Mas Dalton, setidaknya punya fotonya.
Oh iya… satu lagi. Bahagia sore itu juga karena Mas Dalton menghidangkan durian jenis Montong yang sangat manis kepada kami. Ditemani teh botol, kami sampai menghabiskan durian satu tempat. Alma sampai bilang bijinya kecil-kecil. Ilham juga –karena banyak makan- bertanya ini gratis atau gak? Khawatir bayar mahal. Padahal sudah dimakan.
Di atas motor sebelum pulang, kami bilang, insya Allah setelah ada dana, akan segera kembali mengangkut buku-buku yang telah dicatat tadi. Segera insya Allah.
Dalam hati ilham-saya yakin itu-, ia pasti berharap lagi dapat durian.
* Tulisan ini merupakan catatan perjalanan anggota Divisi Kajian Pusat Tarjih Muhammadiyah mengunjungi salah satu perpustakaan pribadi bernama “Baitul Hikmah”.
Kontributor: Qaem Aulassyahied