Intellectual Youth Summit 2.0: Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Estafet Keilmuan
Penulis: Fadhlurrahman Rafif Muzakki
Ahad, 17 Februari 2019. Intellectual Youth Summit 2.0 (IYS 2.0) kembali melanjutkan perhelatan intelektual yang berlangsung selama dua hari di area fakultas teknik UGM, Yogyakarta. Acara tersebut dihadiri oleh beberapa dosen, mahasiswa dan masyarakat umum yang gemar akan tradisi keilmuan. Mereka datang dari berbagai kota di Indonesia. Menimbang begitu pentingnya acara ini, maka Pusat Tarjih Muhammadiyah kembali mengutus Ilham Ibrahim dan Fadhlurrahman Rafif Muzakki sebagai delegasi. Di penghujung acara, ada tema pembahasan yang menarik tentang “Melanjutkan Estafet Keilmuan Para Ulama” yang akan disampaikan oleh Ust. Ridwan Hamidi Lc.M.A. Namun, disebabkan faktor x, sehingga beliau tidak bisa hadir. Lalu digantikan oleh Dr.Muhammad Agung Bramantya.
Meskipun sebagai pembicara penganti, Bramantya tetap mempresentasikan tajuk utama dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Dalam prolognya, beliau bercerita tentang sejarah peci nasional, yang dikenalkan oleh H.O.S Cokroaminoto untuk membedakan dengan suku atau bangsa lain. Selanjutnya, peci itu dipopulerkan oleh Sukarno, untuk mempersatukan keilmuan islam dan barat yang positif, sehingga diresmikanlah sebagai peci nasional sampai sekarang ini.
Mengawali pembahasan inti, baliau memulai dengan bercerita tentang sukarnya mencari mutiara yang indah nan menawan, sebab untuk mendapatkannya perlu pengorbanan yang besar. Orang yang mencarinya harus melewati segala godaan, ujian dan rintangan yang menghadang. Hal ini diibaratkan seperti orang yang sedang mencari ilmu, banyak cobaan yang harus dihadapi. Sebab, ilmu tidak bisa didapatkan dengan santai-santai. Sebagaimana perkataan salaf : “ilmu itu tidak akan memberimu sebagian darinya, sampai engkau memberinya keseluruhan”. Oleh sebab inilah, perlu adanya perjuangan yang tersistematis untuk mendapatkannya.
Setelah mendapat mutiara, agar terlihat lebih indah, maka mutiara tersebut perlu dirangkai dengan mutiara-mutiara lainnya dalam satu relung kalung. Begitu juga seorang ‘alim (orang yang berilmu), ia akan nampak indah dan menawan jika ilmu yang dimilikinya mampu berkolaborasi dengan ilmu-ilmu yang lain. Adanya integrasi antar ilmu inilah, maka akan menambah kakayaan intelektual, sebagai embrio suatu peradaban. Sebagaimana yang di contohkan oleh para ilmuan muslim pada era keemasan islam ketika itu, jelas alumni Keiko University.
Dengan bahasanya yang lugas, dosen fakultas teknik tersebut menjelaskan bahwa pembahasan mengenai estafet keilmuan ulama ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, tongkat estafet. Bramantya mengutip ayat dalam QS. Al-Hijr [15]:9.
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَٰفِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Setelah membacakan ayat, Bramatya menasehati peserta agar memiliki perhatian yang lebih terhadap wahyu, sebab ia merupakan kunci untuk melejitkan potensi seseorang. lalu beliau mengutip perkataanya Jundab bin Abdillah: “Perbedaan generasi sahabat dan generasi setelahnya adalah cara penanaman iman. Pada masa sahabat, pengajaran al-Qur’an diajarkan setelah penanaman iman, sedangkan generasi setelahnya pengajaran al-Qur’an lebih didahulukan”.
Lalu beliau menjelaskan kata lahafidun (memelihara) dalam ayat tersebut. Maksudnya ialah Allah yang akan memelihara mekanisme rantai para ulama dan keilmuannya. Jaminan ini bermula dari masa Rasul sampai hari kiamat kelak, bahwa akan ada seseorang yang selalu menjaga kemurnian ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga jelas, tongkat estafet akan selalu berjalan dari zaman ke zaman, yang menjadi masalah adalah saat tongkat itu berjalan, dimanakah posisi kita?, tanya Bramantya kepada peserta.
Kedua, ilmu. Dalam pembahasan ini, Bramantya mengambil beberapa pengertian dari tokoh Islam. Misalnya ilmu yang didefinisikan oleh al-Raghib al-Isfahani: “al-‘ilm idrak al-shay’ bi-haqiqatihi (persepsi suatu hal dalam hakikatnya). Selain itu, definisi dari Imam Ghazali, bahwa ilmu: “ma’rifatu al-shay’ ‘ala ma huwa bihi” (pengenalan sesuatu atas dirinya). Maksudnya ialah ilmu merupakan masalah perorangan, sehingga ia akan mewakili keadaan pikiran, yaitu keadaan di mana sesuatu tidak lagi asing terhadap dirinya.
Untuk mempertegas, dosen fakultas teknik tersebut menyatakan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang abstrak yang di ejawantahkan dalam peradaban umat manusia oleh orang-orang yang membawanya. Mekanisme Allah menghilangkan atau mencabutnya ialah dengan mewafatkan ulama, begitu juga menghidupkan suatu ilmu yaitu dengan adanya ulama yang akan selalu menjadi pembaharu pada setiap zamannya. Lalu Bramantya menceritakan bahwa jalan menuntut ilmu tidaklah selalu ramai, semakin tinggi marhalah pecarian ilmu seseorang maka akan semakin sepi.
Ketiga, Ulama. Bramantya mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: al-‘ulama warasatul al-anbiyaa (ulama adalah pewaris para nabi). Hadis ini seakan menginformasikan bahwa pengganti para nabi ialah ulama. Sebab, nabi tidaklah meninggalkan dinar atau pun dirham melainkan meninggalkan ilmu. Karena itulah, orang yang mau mengambilnya maka ia telah mendapatkan sebuah warisan yang amat berharga.
Sebagai anggota MIUMI Yogyakarta, beliau mengabarkan karakter ulama yang diinginkan Islam. Karakter utama yang harus dimilikinya ialah mempunyai wawasan luas. Namun, aspek kognitif saja tidaklah cukup. Seorang ulama juga harus mempunyai rasa khauf (takut) kepada Allah swt. Sebab, rasa takut inilah yang yang membedakan dengan ilmuan lainnya. Misalnya adalah pemikir-pemikir Yunani dan Persia Kuno, mereka sangat pandai namun mempunyai banyak permasalahan, disebabkan tidak punya khauf. Ternyata, rasa takut pun tidak cukup. Seorang ulama juga harus bersabar. Sebagaimana kisah kesabaran ulama dahulu dalam mencari ilmu. Misalnya, Ibnu Thahir al-Maqdisi, ia merupakan ulama yang pernah mengalami kencing darah sebanyak dua kali, disebabkan semangatnya mencari ilmu. al-Hafidz al-Khatib yang selalu membawa kitab yang dibacanya. Majduddin Ibn Taimiyyah (kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) yang jika akan masuk ke kamar mandi, ia selalu menyuruh orang yang berada disekitarnya untuk membacakan kitab, agar ia bisa mendengarnya di kamar mandi. Dari kesungguhan dan kesabaran yang selalu dipupuk maka mereka mampu melahirkan banyak karya-karya keilmuan.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan Muhammad Agung Bramantya dapat diketahui bahwa estafet keilmuan akan terus berjalan sampai datangnya hari kiamat. Sebagaimana beliau dalam epilognya mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Akan selalu ada di antara umatku ini sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah. Tidaklah memberinya madharat siapa saja yang melecehkannya atau menyelisihinya, sampai datang ketetapan dari Allah, sedangkan ia dimenangkan atas yang lain”. Harapan beliau adalah peserta yang ikut dalam acara IYS 2.0 ini, dapat ikut berkontribusi dalam disiplin keilmuannya masing-masing, yaitu dengan cara islamisasi ilmu pengetahuan. Supaya Islam yang hadir di era milenial ini semakin mencerahkan umat. Hal ini senada dengan jargon muhammadiyah, Islam berkemajuan, yang sama-sama menghadirkan Islam sebagai solusi dari segala permasalahan umat saat ini. Oleh sebab itu, bukti kontribusi Muhammadiyah peduli terhadap estafet keilmuan ulama ialah dengan diutusnya dua duta tarjih Muhammadiyah.