Pentingnya Aspek Moralitas Masuk ke Dalam Hukum
Penulis: Fadhlurrahman Rafif Muzakki
Santri Cendekia Forum (SCF) pada 16 Matet 2019 kembali melanjutkan diskusi ilmiahnya degan tema Hukum, Kebebasan, dan Moralitas: Diskursus antara Kebebasan dan Moralitas dalam Hukum. Acara tersebut diadakan di Ruang Lesehan Perpustakaan Pusat Tarjih Muhammadiyah dengan menghadirkan Ari Wibowo, S.H.I, S.H., M.H. sebagai pembicara. Perhelatan intelektual itu dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari kalangan remaja hingga kalangan tua, mereka menyempatkan hadir untuk menambah wawasan keilmuan yang langsung disampaikan oleh orang yang mempunyai otoritas di bidangnya.
Ari Wibowo mengawali prolognya dengan memberikan deskripsi singkat tentang buku yang ditulis oleh Hart pada tahun 1963 yang berjudul law, liberty and morality. Isi dalam buku tersebut menjelaskan mengenai perdebatan permikiran antara Mill (ahli filsafat) dan Devlin (hakim). Dalam perdebatannya, Mill menyatakan bahwa kekuaasan negara itu bisa bertindak dengan benar kepada rakyatnya jika ia membuat peraturan yang bisa melindungi rakyatnya dari kerugian. Maksudnya ialah sebuah negara tidak dibenarkan membuat peraturan tertentu yang sifatnya melarang atau membatasi kebebasan warga negaranya, tatkala ia tidak merugikan orang lain (harm to others). Pendapat ini kemudian ditentang oleh dua praktisi hukum, salah satunya ialah Devlin yang banyak dimuat di dalam bukunya Hart. Ia menyatakan bahwa negara itu bisa merumuskan aturan yang melarang perbuatan tertentu yang sifatnya tidak harus merugikan orang lain, akan tetapi juga bisa juga digunakan melindungi moralitas publik yang sudah dianggap baik oleh masyarakat. Oleh sebab itu, larangan terhadap perbuatan tertentu tidak harus mengandung unsur merugikan orang lain, akan tetapi juga bisa perbuatan itu melanggar moral-moral publik yang sudah diakui kebenarannya oleh masyarakat.
Perdebatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap hukum di Inggris mengenai larangan percobaan bunuh diri dan homoseksual. Sebab percobaan bunuh diri bukanlah perbuatan yang merugikan orang lain, namun perbuatannya bisa dilarang. Menurut Devlin, meskipun perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain, namun melanggar moral publik. Sehingga orang yang hendak bunuh diri akan dihukum. Termasuk homoseksual, meskipun pelakunya bisa memilih pasangan sesuai yang diinginkan sesama jenis, menurut Mill negara tidak boleh melarang, sebab ia tidak merugikan orang lain. Namun menurut Devlin ia merupakan perbuatan yang melanggar moral publik di Inggris ketika itu.
Ketertarikan Ari membaca kembali buku Hart tersebut, setelah ia mempelajari Putusan Supreme Court Amerika Serikat pada 26 Juni 2015 dalam kasus Obergefell v. Hodges. Melalui Putusan Supreme Court, Amerika Serikat membuat sejarah baru. Supreme Court menyatakan bahwa pasangan sesama jenis memiliki hak konstitusional untuk malaksanakan perkawinan. Salah satu hal yang dipertimbangkan dalam putusannya adalah kebebasan dasar untuk memilih pasangan pribadi. Sebelum ditetapkannya legalitas, terdapat sebuah perdebatan oleh 9 orang hakim. Lima hakim msyoritas setuju dengan homoseksual, berlandasakan asas kebebasan (liberty), sedangkan empat hakim lainnya menolak, sebab melanggar moral publik.
Lalu Dosen Hukum Pidana UII tersebut menjelaskan bahwa awal mula kasus legalitas homoseksual ialah karena adanya seorang pasangan homoseksual yang sampai mereka tua tapi tidak kunjung mendapatkan legalitas dari pemerintah. Setelah mengajukan ke pengadilan dan sampai ke Supreme Court, akhirya diputuskan secara legal. Setelah turunnya putusan itu, ternyata salah satu pasangannya sudah meninggal. Akhirnya pasangan yang masih hidup merayakan kemenangannya, ini sebagai bukti bahwa pasangan sejenisnya telah dilegalkan oleh konstitusi Amerika Serikat pada tahun 2015.
Sebelum tahun 2015, perkawinan sesama jenis tetap dilarang dan tidak diakui keberadaannya di Amerika. Hal ini disebabkan menurut agama manapun namanya perkawinan definisinya ialah hubungan laki-laki dan perempuan. Di samping itu, sebagian besar orang beranggapan bahwa homoseksual adalah sebuah penyakit, bahkan menurut buku Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental yang diterbitkan American Psychiatric Association pada tahun 1952, homoseksual diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Namun pasca tahun 1973, hal itu dianggap wajar. Keputusan yang dibuat oleh negara super power atau adidaya tersebut, mempunyai pengaruh besar ke negara lain.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terpengaruh, kata Ari. Sebab dahulu para pengiat homoseksual di Indonesia yang tidak mau menunjukan taringnya, namun setelah turunnya keputusan legalitas. Mereka berani menunjukan taringnya dan menyuarakan aspirasinya terhadap legalitas perkawin sesama jenis di Indonesia, alasannya ialah sama seperti lima hakim dalam Supreme Court tersebut, yaitu kebebasan (liberty), dan negara baru boleh melarang jika perbuatan tersebut dapat merugikan orang lain.
Terkait dengan diskursus antara kebebasan dan moralitas, Ari lalu menghubungkannya dengan hukum pidana. Beliau mengatakan bahwa hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang mempunyai tujuan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat, ia bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Dalam hukum pidana kebijakan harus dilakukan secara intergratif, sebab ia mempunyai kelemahan. Jika diibaratkan obat maka ia hanya mampu mengobati gejalanya saja, bukan sampai akar penyakitnya. Misalnya adalah banyaknya pelaku tindakan tetorisme yang dihukum mati, namun perbuatan itu masih sering terjadi, begitu juga bandar narkoba yang dihukum mati, namun pelakunya yang lainnya msh ada. Ini merupakan bukti dari kelamahan hukum pidana.
Terkait kebijakan penal, kriminalisasi menjadi bagian dari politik hukum pidana khususnya pada kebijakan legislatif atau formulatif. Tahap formulatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya karena pada tahap ini akan ditentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang akan dijadikan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi sendiri merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang awalnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang yang mengancam perbuatan tersebut dengan sanksi pidana. Aspek krusial dalam melakukan kriminalisasi adalah menentukan kriteria atau ukuran yang menjadi dasar perlu tidaknya suatu perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana. Ia merupakan proses yang menjadikan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Dulu terorisme bukanlah tindakan pidana, namun setelah diproses maka menjadi tindakan pidana.
Karena itulah, sangat menarik menurut Ari jika mencermati Putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus Obergefell v. Hodges. Sebab ada empat hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Banyak yang menilai putusan tersebut merupakan hasil pertarungan pemikiran antara liberalisme v. konservatisme atau bisa juga disebut kebebasan v. moralitas. Lima hakim mayoritas menyuarakan faham liberalisme atau pendukung kebebasan, sementara empat hakim minoritas menyuarakan faham konservatisme yang masih berpegang pada prinsip perkawinan tradisional yang berdasar pada moralitas agama. Perdebatan ini hampir sama dengan perdebatan Mill dan Devlin.
Dalam konteks Indonesia, hukum harus didasarkan pada nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila, yaitu nilai moral-religius, nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan. Pancasila bukan hanya merupakan norma dasar (grundnorm) akan tetapi lebih mendasar dari itu sebagai nilai-nilai dasar (grundwerten). Atas dasar itulah, maka Hukum Indonesia seharusnya tidak sekuler, namun hukum yang berketuhanan sebagai pengejawantahan Sila Pertama Pancasila. Hukum negara-negara barat yang cenderung sekuler bisa digunakan sebagai perbandingan dan bisa diakomodasi sepanjang tidak bertentangan dengan moral Pancasila.
Jika pancasila itu dikaji dengan menghubungkan teori piramida, maka dari sila pertama sampai sila terakhir sesungguhnya bersifat hirarkis. Sila pertama merupakan ruh dari pancasila, sementara empat sila yang lain merupakan jasadnya. Jika pancasila kehilangan sila pertama, maka diibaratkan seperti manusia tanpa ruh. Oleh karena itu memahami sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab harus dikaitkan dengan sila pertama. Artinya ialah kemanusian yang adil dan beradab dapat dipahami bahwa pemerintah negara berkewajiban menjaga terselengaranya kehidupan yang beradab atau bermoral berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang Maha Esa, sehingga nilai hukum yang berada di Indonesia harus mendasarkan kepada moralitas nilai agama. Oleh sebab itu, hukum pidana Belanda atau KUHP tidaklah cocok untuk masyarakat Indonesia, sebab filsafatnya sudah berbeda, bukan liberty namun moralitas yang bersumber kepada ketuhanan yang Maha Esa. Karena itulah, moralitas bangsa ini perlu dijaga, agar identitas bangsa indonesia tidak hilang.
Selanjutnya, Ari mengutip perkataan Kevin Reinhart dalam artikelnya yang berjudul Islamic Law as Islamic Ethic bahwa Hukum Islam lebih cenderung ada dalam domain etika atau moral Islam daripada teologi atau filsafat Islam. Menurut Ari, sumber moral Hukum Islam ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, di dalamnya terdapat nilai-nilai yang terkandung atau sering disebut dengan istilah maqashid syari’ah (tujuan syari’at). Pencetusnya ialah Imam asy-Syatibi dengan karyanya yang berjudul Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Dalam kitab ini ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqashid syari‘ah. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Mashlahat menurutnya yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala bentuk upaya untuk memelihara kelima macam ini dipandang sebagai mashlahat, dan merusaknya adalah mafsadat.
Asy-Syatibi membagi urutan priorotas maslahat menjadi tiga urutan: Pertama dharuriyah,ialah menjamin keamanan dari kelima kebutuhan hidup yang primer. Kedua hajiyah, yaitu menjamin keperluan hidup. Ketiga tahsiniyah, ialah menjadikan sesuatu yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan mampu megatur kehidupan yang lebih baik. Dari sinilah dapat diketahui bahwa Hukum Islam diciptakan tidak hanya besandar pada harm to others, akan tetapi lebih luas dari pada itu, yaitu untuk mendapatkan kemaslahatan dan mencegah dari kemadharatan. Ukuran kemashlahatan dan kemadharatan tersebut adalah terlindunginya kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya terutama kebutuhan primer yang menyangkut agama, jiwa, keturunan dan kehormatan, akal, serta harta. Sebagai contoh, kenapa perzinahan dilarang padahal tidak merugikan orang lain? Tentu jawabannya karena menyangkut perlindungan terhadap keturunan dan kehormatan. Tanpanya manusia akan kehilangan martabatnya. Itulah moralitas Islam.
Setelah menjelaskan secara komprehensif dan runtut, Ari menutup pemaparannya dengan mengatakan bahwa perbuatan amoral yang bertentangan dengan moral pancasila atau bertentangan dengan kaidah-kaidah semua agama yang diakui di Indonesia, seharusnya dilarang oleh hukum, meskipun perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain, sebab landasan hukum itu didasarkan kepada pertimbangan moralitas. Oleh sebab itu, terhadap perbuatan amoral, hukum harus mengambil bagian dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu untuk menegakan moralitas, seperti perzinahan baik heteroseksual maupun homoseksual, percobaan bunuh diri, dan lain sebagainya.
Pentashih: Ari Wibowo