Di Intellectual Youth Summit 2.0, Dr. Arqom Jelaskan Tipologi Relasi Agama dan Sains
Penulis: Ilham Ibrahim
Pusat Tarjih Muhammadiyah mengirimkan dua delegasinya yakni Ilham Ibrahim dan Fadhlurrahman Rafif Muzakki ke acara Intellectual Youth Summit 2.0 (IYS 2.0) yang diselenggarakan di area kampus Universitas Gajah Mada. Acara yang bertema “Membangun Insan Cendekia Melalui Tradisi Ilmu dan Jejaring Komunitas” tersebut dihelat dengan tujuan memantik gairah pemuda-pemudi muslim untuk kembali menyeruakan gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Rencananya kegiatan yang diikuti lebih dari 140 peserta ini akan berlangsung selama dua hari dari tanggal 16 s/d 17 Februari 2019.
Latar belakang masalah adanya kegiatan ini lantaran pandangan hidup Barat masih menjadi trendsetter dalam sistem pendidikan nasional. Hal tersebut melahirkan dualisme dan dikotomis ilmu pengetahuan yang berarti pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum dalam klasifikasi ilmu. Uniknya, warisan pahit dari sistem pendidikan kolonial Belanda yang sudah mentradisi di dalam dunia pendidikan Indonesia seperti itu, tetap saja dipertahankan hingga saat ini, bahkan telah memiliki legalitas yang kuat. Karena itulah acara ini digalakan untuk mewacanakan bahwa sekulariasi ilmu pengetahuan merupakan satu langkah mundur dalam membangun peradaban Islam.
Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Dr. Arqom Kuswanjono yang bertugas sebagai keynote speaker pada kegiatan tersebut menyampaikan tema yang cukup provokatif, “integrasi Islam dan sains, mungkinkah?”. Dalam pemaparannya, Arqom mengutip salah seorang teolog cum fisikawan Kristen Ian G. Barbour tentang tipologi relasi antara agama dan sains. Menurut beberapa ahli, Barbour dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana mutakhir terkait relasi sains dan agama, baik dari segi materi maupun metodologinya. Dengan mengutip Barbour, Arqom kemudian memetakan empat pandangan dalam tipologi relasi antara agama dan sains, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi.
Pertama, relasi konflik. Arqom mengambil contoh dari satu drama sejarah dalam perjalanan peradaban Barat. Menurutnya, konflik antara kalangan saintis versus agamawan mencapai titik klimaks ketika Nicolas Copernicus mengemukakan hasil risetnya, yaitu matahari sebagai pusat alam semesta (heliosentris). Pandangan tersebut kemudian diperkuat oleh riset Galileo Galilei lewat teleskopnya. Hasil riset kedua ilmuwan itu membuat gereja naik pitam, akibatnya Copernicus dan Galileo mendapatkan hukuman karena dianggap menyalahi dogma kristen. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Adanya relasi konflik ini menurut Arqom menimbulkan persepsi bahwa orang tidak dapat mempercayai evolusi dan Tuhan sekaligus. Masing-masing hal tersebut menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang berseberangan. Keduanya berseteru dengan retorika perang.
Kedua, relasi indepedensi. Konflik terjadi akibat pengaburan batas-batas sains dan agama, keduanya dianggap bersaing dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama sehingga orang harus memilih salah satunya. Karena itu, setelah pihak gereja tidak mampu membendung gelombang perlawanan dari kalangan intelektual, akhirnya mereka bersepakat untuk mewujudkan otonomi ilmu pengetahuan. Indepedensi ini dilakukan lantaran saintis ingin melaksanakan kajian-kajian ilmiah tanpa ada intervensi baik yang datang dari ranah politik maupun agama. Akan tetapi menurut Arqom, jika sains dan agama benar-benar independen, dengan kata lain berjalan sendiri-sendiri, kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya.
Ketiga, relasi dialog. Dalam hubungan ini, antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didalogkan antara para ilmuan dan agamawan, bahkan bisa saling mendukung. Tipe ini dianggap lebih konstruktif antara sains dan agama daripada pandangan Konflik dan Independensi. Menurut Arqom, jika independensi menekankan perbedaan yang ada, maka dialog menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Menurut Arqom, tipe dialog menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing. Namun, dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual yang kokoh lantaran hanya sibuk mencari persamaan ide dan gagasan antara agama dan sains.
Keempat, relasi integrasi. Tipe ini melahirkan hubungan yang lebih konstruktif daripada pendekatan dialog. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Menurut Arqom, pertanyaan tentang ‘mungkinkah Islam dan sains diintegrasikan?’ merupakan keresahan yang tidak relevan lantaran tidak ada presedennya Islam pernah berkonflik dengan sains. Dengan kata lain, Arqom ingin menyampaikan bahwa integrasi Islam dan sains bukanlah wacana baru yang tidak memiliki preseden sejarah, melainkan sejak abad pertengahan ulama-ulama Islam sebelum belajar memahami realitas alam dan sosial mereka belajar al-Qur’an dan Hadis terlebih dahulu. Karena itulah, sosok Ibnu Rusyd tidak hanya sebagai figur yang menulis kitab Bidayatul Mujtahid tetapi juga berprofesi sebagai dokter.
Tak sulit diketahui dari uraian di atas bahwa Arqom Kusumanjono lebih bersimpati pada integrasi Islam dan sains. Akan tetapi dalam memahami relasi integrasi ini, Arqom mengingatkan bahwa Islamisasi ilmu itu tidak berarti labelisasi Islam, dalam artian nanti akan ada laptop Islam, lampu Islam, pesawat terbang Islam, sepeda motor Islam, kapal pesiar Islam dan sebagainya. Selain itu, Arqom juga tidak sependapat dengan gagasan bahwa Islamisasi sains berarti ayatisasi penemuan para saintis. Metode seperti ini lebih ke arah justifikasi sains dengan dalil-dalil agama. Hal tersebut tentu saja berdampak buruk karena memberi kesan Islam selalu mengekor kepada pengetahuan kontemporer dan sains modern.
Karena itulah, Arqom berpesan kepada seluruh peserta untuk melanjutkan perjuangan Naquib al-Attas dalam proyek besarnya yaitu islamisasi ilmu pengetahuan pada level yang lebih fundamental. Proyek tersebut membutuhkan kepala yang kritis terhadap paham dari luar Islam, dan tangan yang mampu berkontribusi dalam kerja-kerja peradaban. Pengiriman dua delegasi dari Pusat Tarjih Muhammadiyah ke kegiatan IYS 2.0 menunjukan satu kesimpulan penting bahwa Muhammadiyah terbuka dengan pemikiran luar, apalagi jika itu memiliki tujuan mulia untuk memajukan Islam sebagai din al-hadlarah.