Islam Memiliki Worldview yang Matang: Konsep Maupun Role Modelnya
Penulis: Fadhlurrahman Rafif Muzakki
Santri Cendekia Forum pada 16 Februari 2019 kembali melanjutkan kajian literasi edisi ke-3 dengan tema Islamic Worldview: Sebuah Pengenalan dan Pengamalan. Acara tersebut diadakan di Aula Islamic Center Masjid Universitas Ahmad Dahlan dengan menghadirkan Anton Ismunanto sebagai pembicara. Kegiatan literasi ini dihadiri oleh beberapa perwakilan mahasiswa/i dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Mereka menyempatkan hadir untuk memenuhi dahaga intelektual, karena akhir-akhir ini hal tersebut dirampas oleh hiruk-pikuk politik elektoral.
Dalam prolognya, pengasuh santri Madrasah Muallimin tersebut menceritakan tentang maraknya liberalisasi pemikiran Islam yang direkomendasikan oleh Rand Corporation, dari Amerika Serikat. Wacana liberal tersebut banyak digemari golongan muda khususnya di dekade awal tahun 2000an. Pada rentang waktu itu, muncul kesan bahwa pemuda keren adalah yang berfikir liberal. Di saat bersamaan, muncullah lembaga bernama Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (disingkat INSISTS) yang memusatkan perhatiannya pada rekonstruksi pemikiran dan peradaban Islam. Namun karena wacana liberal sedang marak, maka lembaga ini terpaksa turut andil dalam merespon hal tersebut. Sebagian besar pegiat lembaga ini adalah murid Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendiri International Institute Of Islamic Thought and Civilization (disingkat ISTAC), Malaysia.
Berangkat dari kejanggalan yang dirasakan saat membaca berbagai wacana yang digulirkan oleh para pemikir semacam Nurcholish Madjid, Anton merasakan berbagai pertanyaan dalam benaknya terjawab oleh penjelasan Hamid Fahmy Zarkasyi megenai Islamic Worldview. Seiring berjalannya waktu, ia berkesempatan untuk menggikuti Program Kaderisasi Ulama Gontor yang dipimpin dan diarahkan langsung oleh Hamid Fahmy Zarkasyi. Di samping itu, Anton pernah belajar aqidah selama delapan semester di Departemen Dakwah dan Ushuluddin, al-Madinah International University (disingkat MEDIU), Malaysia. Alhasil, warna kajian worldview dalam diskusi ini lebih kental bercorak bahasan aqidah dari pada filosofis.
Setelah memaparkan tentang perkembangan liberalisasi dan tujuan didirikannya INSISTS, beliau masuk ke pembahasan mengenai worldview. Worldview berasal dari kata world yang berarti dunia, serta view yang berarti pandangan; sehingga worldview secara sederhana dapat diartikan dengan pandangan dunia. Istilah lain yang lebih populer adalah pandangan hidup atau falsafah hidup. Istilah worldview pertama kali digunakan dalam bahasa Jerman oleh Immanuel Kant dalam bukunya mengenai kritik atas nalar manusia (weltanschauung) Kata tersebut lalu dikembangkan secara operasional oleh William Dilthey untuk menjelaskan mengenai hubungan pikiran manusia dengan berbagai teka-teki dunia. Istilah tersebut kemudian tersebar pada abad XIX ke berbagai bahasa dan aliran filsafat. Belakangan, istilah worldview menjadi sentral di berbagai disiplin ilmu. Menurut Anton, melalui istilah tersebut para pakar mulai menyadari perbedaan antara apa yang difahami mengenai dunia dengan dunia itu sendiri.
Dengan kepiawaian retorika dan bahasa yang sederhana, ia mencontohkan berbagai realisasi worldview yang telah melekat dalam diri sahabat Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam. Misalnya kisah penolakan Zainab binti Jahsy saat dilamar Rasulullah untuk anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. Lalu turunlah ayat “Dan tidaklah patut bagi laki-laki dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah berada dalam kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzab [33]: 36). Segera Zainab menemui Rasulullah dan bertanya, “wahai Rasulullah apakah engkau rela saya menjadi istri Zaid?”. Lalu Rasulullah pun menjawab “iya”. Maka menikahlah Zainab dengan Zaid.
Sebaliknya, terdapat kisah seorang sahabat yang menikah dengan anak perempuan Abu Ihab. Suatu hari, berkunjunglah seorang perempuan tua yang menceritakan bahwa ia pernah menyusui pasangan tersebut di masa kecil. Selanjutnya, datanglah sahabat tersebut kepada Rasulullah untuk mengonfirmasi hal tersebut. Karena ayat mengenai larangan pernikahan saudara sepersusuan telah turun, Rasulullah hanya mengatakan, “fa kaifa? wa qad qîla (bagaimana lagi? Telah dinyatakan demikian)”. Maka, tanpa banyak pertimbangan, bercerailah kedua tersebut.
Dalam menjelaskan islamic worldview, dosen PUTM tersebut mengikuti narasi gurunya, Hamid Fahmy Zarkasyi. Dimulai dengan mengumpulkan definisi dari berbagai tokoh seperti Ninian Smart (pakar kajian budaya) dan Thomas Wall (pakar teologi), worldview merupakan keyakinan dasar (basic belief) yang berdampak kepada pikiran, perasaan, hingga perbuatan seseorang. Dalam Islam, worldview bermula dari syahadat dan berdampak secara sistemik kepada seluruh aspek kehidupan. Anton kemudian mencontohkan bagaimana kafir Quraisy di bukit Shafa yang tidak pernah meragukan kejujuran Muhammad shallallah ‘alaihi wasallam, secara serempak menolak untuk bersyahadat. Hal itu karena mereka menyadari bahwa menerima syahadat sama dengan mengubah pandangan hidup mereka. Hal itu berarti pula mereka harus mengakhiri seluruh tradisi jahiliyah yang selama ini mereka jalani. Mereka tahu betul bahwa dengan bersyahadat, kontruksi kesadaran mereka berubah, dan puncaknya, realitas sosialnya juga berubah.
Lebih jauh, mengikuti Hamid Fahmy Zarkasyi, Anton mengupas istilah islamic worldview dari para pemikir Islam abad XX. Pertama, al-Maududi, pendiri Jama’at-e Islami yang menggunakan istilah Islam-i Nazariyat. Menurut al-Maududi, pandangan hidup bermula dari syahadat, lalu berimplikasi kepada seluruh kegiatan manusia. Kedua, Atif al-Zain, murid an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir, yang menggunakan istilah al-Mabda’ al-Islami. Menurutnya mabda’ adalah kepercayaan yang rasional atau berdasarkan pemikiran.
Ketiga, Sayyid Quthub, ideolog Ikhwanul Muslimin, yang menggunakan istilah at-Tashawwur al-Islami. Menurutnya, tashawwur berarti keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati seorang muslim, yang memberikan penjelasan mengenai wujud dan apa-apa yang ada di baliknya. Keempat, Naquib al-Attas yang menggunakan istilah Ru’yatul Islam lil Wujud. Menurutnya, ru`yah berarti pandangan islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati seseorang dan menjelaskan mengenai hakikat wujud.
Dari berbagai definisi worldview menurut para cendekiawan muslim di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam memiliki cara pandang tersendiri terhadap kebenaran, kenyataan dan kehidupan. Meski begitu, jika dicermati, penjelasan al-Maududi lebih mengarah kepada kekuasaan Tuhan yang mewarnai segala aktivitas kehidupan manusia dan berimplikasi terhadap politik. Adapun Atif al-Zayn dan Sayyid Quthub, lebih cenderung memahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional, yang implikasinya ialah ideologi. Sedangkan Naquib al-Attas lebih tegas lagi dalam memaknai worldview secara metafisis dan epistimologis.
Di akhir kajian literasi ini, Anton menegaskan kepada para peserta bahwa Islam telah memiliki worldview yang matang, baik secara konseptual maupun role model-nya. Inilah yang membedakan Islam dengan berbagai agama dan peradaban lainnya.